Diabetes Mellitus - Etiologi dan Klasifikasi sampai Tatalaksana Umum


Definisi

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya serta gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Efek spesifik jangka panjang dari diabetes yaitu retinopati, nefropati, dan neuropati. Orang dengan diabetes juga berisiko lebih tinggi terhadap penyakit lain termasuk jantung, penyakit arteri perifer dan serebrovaskular, obesitas, katarak, disfungsi ereksi, dan penyakit hati berlemak nonalkohol. 

Diabetes dapat muncul dengan gejala khas seperti haus, poliuria, pandangan kabur, dan penurunan berat badan. Infeksi akibat jamur di organ genital sering terjadi. Manifestasi klinis yang paling parah adalah ketoasidosis atau keadaan hiperosmolar non-ketotik yang dapat menyebabkan dehidrasi, koma, dan jika tidak ada pengobatan yang efektif menyebabkan kematian [1].

Etiologi dan Klasifikasi DM

DM tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
·         Autoimun
·         Idiopatik
DM tipe 2
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
DM gestasional
Intoleransi glukosa dengan onset pertama selama kehamilan.
Tipe lain
Berbagai kondisi yang relatif tidak umum:
·         Defek genetik fungsi sel beta
·         Defek genetik kerja insulin
·         Penyakit eksokrin pankreas
·         Endokrinopati
·         Karena obat atau zat kimia
·         Infeksi
·         Sebab imunologi yang jarang
·         Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Fisiologi Hormon yang Berperan dalam DM

Pada hepar, insulin menstimulasi glikogenesis, sintesis asam lemak, glikolisis, dan jalur pentosa fosfat. Pada jaringan adiposa, insulin menstimulasi penyerapan glukosa, asam lemak, dan sintesis trigliserida. Pada otot rangka, insulin menstimulasi pengambilan glukosa, glikogenesis, dan sintesis protein. Insulin tidak mempengaruhi metabolisme glukosa di otak, atau dalam sel darah merah.

Sel beta pankreas melepaskan insulin karena peningkatan konsentrasi glukosa darah. Glukosa memasuki sel-sel ini melalui GLUT2 melalui transpor pasif. Transporter glukosa ini memiliki afinitas yang lemah. Sehingga hanya bisa digunakan oleh glukosa setelah makan, ketika kadar glukosa darah tinggi, dan bukan saat puasa. Setelah glukosa teroksidasi, peningkatan konsentrasi adenosin trifosfat (ATP) merangsang saluran kalium, mendepolarisasi membran sel. Ini membuka kanal voltage-gated kalsium (Ca2+). Pelepasan Ca2+ dari retikulum endoplasma diperantarai second messenger inositol trisphosphate. Hal ini menghasilkan peningkatan konsentrasi Ca2+ intraseluler dan memicu pelepasan insulin.

Insulin mempengaruhi metabolisme sel dengan reseptor insulin pada hepatosit, adiposit, dan miosit. Insulin menggunakan reseptor tirosin kinase yang memfosforilasi protein target, sehingga menyebabkan banyak efek metabolik. Translokasi cepat transporter glukosa GLUT4 dari vesikel ke permukaan sel otot rangka, sel otot jantung, dan sel-sel lemak meningkatkan transpor glukosa ke sel-sel ini. Selain itu, insulin mengatur enzim metabolisme seperti glikogen sintase dan fosforilase melalui aktivasi fosfatase tipe I dan defosforilasi [2].

Mekanisme pengeluaran insulin dipengaruhi oleh:
1. Sistem saraf otonom juga secara langsung mempengaruhi sekresi insulin. Pulau-pulau Langerhans memiliki banyak persarafan parasimpatis (vagus) dan simpatis. peningkatan aktivitas parasimpatis yang terjadi sebagai respons rerhadap makanan di saluran cerna merangsang pengeluaran insulin. Hal ini juga merupakan respons feedforward sebagai antisipasi penyerapan nurrien. Sebaliknya, stimulasi simpatis dan peningkatan epinefrin yang menyertainya menghambats ekresi insulin.
2. Hormon saluran cerna yang dikeluarkan sebagai respons terhadap adanya makanan, seperti glucose-dependent insulinotropic peptide (GIP) merangsang pankreas mengeluarkan insulin selain memiliki efek regulatorik langsung pada sistem pencernaan.

Mekanisme Kerja Insulin

a. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino darah serta mendorong penyimpanan bahan-bahan tersebut. Insulin mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan pengubahannya masing-masing menjadi glikogen, trigliserida, dan protein.
b. Konsentrasi glukosa dalam darah ditentukan oleh keseimbangan antara proses-proses seperti penyerapan glukosa dari saluran cerna, pemindahan glukosa ke dalam sel, produksi glukosa oleh hati, dan (secara abnormal) ekskresi glukosa di urin.
c. Insulin memiliki empat efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan mendorong penyimpanan karbohidrat:
  • Insulin mempermudah transpor glukosa ke dalam sebagian besar sel. 
  • Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa, di otot rangka dan hati.
  • Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian gliko-gen menjadi glukosa. Dengan menghambat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi pengeluaran glukosa oleh hati.
  • Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa di hati. Insulin melakukannyadengan mengurangi jumlah asam amino di darah yang  tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi glukosa.
Secara bersamaan insulin menghambat dua mekanisme pembebasan glukosa oleh hati ke dalam darah (glikogenolisis dan glukoneogenesis). Insulin adalah satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah.

Gambar: Pengaturan Glukosa darah

Pengangkutan glukosa antara darah dan sel dilaksanakan oleh suatu pembawa/pengangkut membran plasma yang dikenal sebagai pengangkut glukosa (glucose transporter, GLUT). Terdapat enam bentuk pengangkut glukosa yang telah diketahui dan dinamai sesuai urutan penemuannya, GLUT-1, GLUT-2, dan seterusnya. Pengangkut glukosa ini melaksanakan difusi pasif terfasilitasi glukosa melewati membrane plasma dan berbeda dari pembawa kotranspor Na-glukosa yang berperan dalam transpor aktif sekunder glukosa melewati epitel ginjal dan usus. 
  • GLUT-1: memindahkan glukosa menembus sawar darah-otak, 
  • GLUT-2: memindahkan glukosa yang masuk ke sel ginjal dan usus ke aliran darah sekitar melalui pembawa kotranspor 
  • GLUT-3: pengangkut utama glukosa ke dalam neuron. 
  • GLUT-4: pengangkut glukosa yang bertanggung jawab atas sebagian besar penyerapan glukosa oleh mayoritas sel tubuh adalah yang bekerja hanya setelah berikatan dengan insulin. Molekul glukosa tidak dapat dengan mudah menembus membrane sebagian besar sel tanpa adanya insulin sehingga kebanyakan jaringan bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa dari darah dan menggunakannya. GLUT-4 sangat banyak terdapat di jaringan yang paling banyak menyerap glukosa dari darah selama keadaan absorptive yaitu otot rangka dan sel jaringan lemak. GLUT-4 adalah satu-satunya jenis pengangkut glukosa yang berespons terhadap insulin. Tidak seperti jenis molekul GLUT lainnya, yang selalu ada di membran plasma ditempat mereka melaksanakan fungsinya, GLUT-4 akan di-keluarkan dari membran plasma jika tidak terdapat insulin. Insulin mendorong penyerapan glukosa melalui proses rekrutmen pengangkut atau vesikel vesikel. Insulin memicu vesikel-vesikel ini bergerak ke membrane plasma dan menyatu dengan membrane plasma sehingga GLUT 4 dapat disisipkan ke dalam rnembran plasma. Dengan cara ini sekresi insulin mengalami peningkatan pesat penyerapan glukosa 10 sampai 30 kali lipat oleh sel-sel dependen insulin. Ketika sekresi insulin berkurang, pengangkut glukosa tersebut diambil kembali dari membran plasma dan dikembalikan ke dalam vesikel.
  • Beberapa jaringan tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa-yaitu, otak, otot yang sedang aktif dan hati. Otak, yang memerlukan pasokan konstan glukosa un-tuk kebutuhan energinya setiap saat, bersifat permeabel bebas terhadap glukosa setiap waktu melalui molekul GLUT-1 dan GLUT-3. Saat olahraga, sel-sel otot rangka tidak bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa, meskipun saat istirahat mereka memerlukannya. Kontraksi otot memicu penyisipan GLUT-4 ke membran plasma sel otot yang aktif meskipun tidak terdapat insulin. 


Efek Insulin pada Lemak

Insulin memiliki banyak efek untuk menurunkan asam lemak darah dan mendorong penyimpanan trigliserida: 
1. Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke dalam sel jaringan lemak.
2. Insulin meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel jaringan lemak melalui rekrutmen GLUT:4. Glukosa berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu bahan mentah untuk membentuk trigliserida.
3. Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida.
4. Insulin menghambat lipolisis (penguraian lemak) [3]

Efek Insulin pada Protein

Insulin menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein melalui beberapa efek:
1. Insulin mendorong transpor aktif asam amino dari darah ke dalam otot dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein di dalam sel
2. lnsulin menghambat penguraian protein.

Gejala Klasik DM

Poliuria (Sering Buang Air Kecil) dan Polidipsia (Sering Haus)
Glukosa dalam urin menarik air dari darah, sehingga urin yang terbentuk lebih banyak, dan penderita akan sering buang air kecil. Dengan berkurangnya jumlah cairan tubuh, maka penderita akan merasa haus dan minum lebih sering.
Polifagia (Sering Lapar)
Meskipun ada banyak glukosa dalam darah, namun karena kurangnya insulin, glukosa tersebut tidak dapat memasuki sel dan sel-sel tubuh kekurangan sumber energi sehingga penderita akan sering merasa lapar.
Penurunan Berat Badan
Berkurangnya insulin yang bermanfaat sebagai pembangunan massa otot menyebabkan beberapa otot dipecah menjadi glukosa, meskipun pada akhirnya glukosa tersebut tidak dapat masuk ke dalam sel. Dengan berkurangnya massa otot, maka bobot tubuh penderita juga akan berkurang.
Gejala lain yang perlu diwaspadai
Lemah badan, kesemutan, penglihatan kabur, gatal, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae (gatal-gatal di sekitar kemaluan) pada wanita.

Patofisiologi DM Tipe 1

Gambar: Patofisiologi DM tipe 1

1. Diabetes Melitus tipe 1 adalah sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia dan defisiensi insulin akibat hilangnya sel beta di pulau pancreas. Penghancuran sel beta pada DM tipe 1 dihasilkan dari interaksi faktor genetik dan lingkungan.  Meskipun kerentanan genetik tidak dipahami dengan baik, diabetes tipe 1 paling kuat terkait dengan kompleks mayor histokompatibilitas (MHC), khususnya antigen leukosit histokompatibilitas (HLA) alel kelas II (HLA-DQ dan HLA-DR). Faktor lingkungan yang mempengaruhi termasuk infeksi virus (terutama enterovirus), paparan mikroorganisme menular (seperti Helicobacter pylori), paparan protein susu sapi dan kurangnya vitamin D.
2. Penghancuran sel beta penghasil insulin di pankreas dimulai dengan pembentukan autoantigen. Autoantigen ini dicerna oleh sel-sel penyaji antigen yang mengaktifkan limfosit helper 1 (Th1) dan T helper 2 (Th2). Limfosit Th1 teraktivasi mengeluarkan interluekin-2 (IL-2) dan interferon. IL-2 mengaktifkan limfosit T sitotoksik spesifik autoantigen yang menghancurkan sel pulau melalui sekresi perforin dan granzim. Interferon mengaktifkan makrofag dan merangsang pelepasan sitokin inflamasi (termasuk IL-1 dan tumor necrosis factor [TNF] ) yang selanjutnya menghancurkan sel beta pankreas.
3. Limfosit Th2 teraktivasi menghasilkan IL-4 yang menstimulasi limfosit B untuk berkembang biak dan menghasilkan autoantibodi sel pulau (ICA) dan antibodi anti-glutamat asam dekarboksilase (antiGAD65). AntiGAD65 adalah enzim yang membantu mengontrol pelepasan insulin dari sel beta pankreas [4].


Patofisiologi DM Tipe 2

Ominous octet

  1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
  2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.
  3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
  4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
  5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin (yang menstimulasi insulin dan mengakibatkan gula darah naik) ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1): [mestimulasi sekresi insulin dan meningkatkan sensitivitasnya, menekan pelepasan glukagon, memperlambat pengosongan lambung, dan mengurangi intake makanan] dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide): [mengakselerasi pengosongan lambung]. Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resistansi terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah menjadi inaktiv dengan segera oleh enzim DPP-4, sehingga incretin hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.  
  6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
  7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.
  8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin [5]

Faktor genomik

Studi hubungan genome dari single-nukleotida polimorfisme (SNP) telah mengidentifikasi sejumlah varian genetik yang terkait dengan fungsi sel beta dan resistensi insulin. Beberapa SNP ini tampaknya meningkatkan risiko diabetes tipe 2. Terdapat lebih dari 40 lokus independen yang menunjukkan hubungan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2. Subset yang paling poten sebagai berikut:
  • Penurunan respons sel beta, yang menyebabkan gangguan pemrosesan insulin dan penurunan sekresi insulin (TCF7L2)
  • Menurunkan pelepasan insulin yang distimulasi glukosa awal (MTNR1B, FADS1, DGKB , GCK)
  • Perubahan metabolisme asam lemak tak jenuh (FSADS1)
  • Disregulasi metabolisme lemak (PPARG)
  • Penghambatan pelepasan glukosa serum (KCNJ11)
  • Peningkatan adipositas dan resistensi insulin (FTO dan IGF2BP2)
  • Kontrol pengembangan struktur pankreas, termasuk sel beta-pulau kecil (HHEX) 
  • Transportasi seng ke dalam sel beta-pulau langerhans yang memengaruhi produksi dan sekresi insulin (SLC30A8)
  • Kelangsungan hidup dan fungsi sel beta-pulau (WFS1)
Kerentanan terhadap diabetes tipe 2 juga dapat dipengaruhi oleh varian genetik yang melibatkan hormon incretin yang dilepaskan dari sel-sel endokrin dalam usus dan merangsang sekresi insulin dalam menanggapi pencernaan makanan. Misalnya, berkurangnya fungsi sel beta yang disebabkan varian gen yang mengkode reseptor polipeptida inhibitor lambung (GIPR). Terakhir, protein A1 (HMGA1) adalah kunci pengatur gen reseptor insulin (INSR). Varian fungsional dari gen HMGA1 akan meningkatkan risiko diabetes.

Subtipe

Sebuah studi menyarankan bahwa DM tipe 1 dan tipe 2 sebenarnya dapat dibagi menjadi lima tipe terpisah. Studi tersebut menggunakan enam variabel untuk menganalisis hampir 15.000 pasien di Swedia dan Finlandia, para peneliti datang dengan kelompok berikut, yang pertama sesuai dengan diabetes tipe 1 dan sisanya adalah subtipe diabetes tipe 2:
  • Diabetes autoimun berat (severe autoimmune diabetes [SAID]) - Pada dasarnya sesuai dengan diabetes tipe 1 dan diabetes autoimun laten pada orang dewasa (LADA), bentuk ini ditandai dengan timbulnya pada usia muda dan pasien dengan indeks massa tubuh (BMI) yang relatif rendah, kontrol metabolik yang buruk, dan gangguan produksi insulin; selain itu, kluster ini positif untuk glutamic acid decarboxylase antibodies (GADA)
  • Diabetes defisiensi insulin berat (severe insulin-deficient diabetes [SIDD]) - Cluster ini mirip dengan SAID tetapi GADA-negatif dan ditandai dengan HbA1c tinggi dan risiko terbesar untuk retinopati diabetik di antara semua cluster
  • Diabetes resisten insulin berat (severe insulin-resistant diabetes [SIRD]) - Kelompok ini ditandai oleh resistensi insulin dan pasien dengan BMI tinggi dan risiko terbesar untuk nefropati diabetik
  • Diabetes terkait obesitas ringan (mild obesity-related diabetes [MOD]) - Pasien dalam kelompok ini lebih muda, memiliki obesitas, dan tidak resisten terhadap insulin
  • Diabetes terkait usia ringan (mild age-related diabetes [MARD]) - Pasien dalam kelompok ini lebih tua, dan perubahan metaboliknya sedang
  • Para peneliti berpendapat bahwa penelitian dalam populasi yang kurang homogen diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil mereka tetapi melihat laporan mereka sebagai "langkah pertama menuju stratifikasi diabetes yang lebih tepat dan bermanfaat secara klinis"  [6]


Patofisiologi DM Gestasional (DMG)

Gambar: Faktor Risiko dan Patogenesis DMG
  1. Diabetes melitus dengan kehamilan (diabetes melitus gestational/DMG) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia) dan biasanya terjadi pada trimester kedua atau ketiga.
  2. DMG dapat terjadi karena keadaan metabolisme tubuh berubah selama kehamilan. Hal itu terdiri dari peningkatan kebutuhan energi dari fetus dan hormon kehamilan yang mempengaruhi peningkatan resistensi dari insulin. Hal itu juga dapat dipengaruhi oleh bebrapa faktor seperti obesitas, usia ibu hamil, dan etnis. Semua keadaan itu akan mengakibatkan beta pancreas kelelahan dalam memproduksi insulin. Meskipun patofisiologi dari DMG belum begitu jelas namun terlihat jelas bahwa komplikasi pada bayi akibat diabetes gestasional dapat terjadi seperti:
  3. a. Pertumbuhan berlebih.  Glukosa ekstra dapat melewati plasenta, yang memicu pankreas bayi untuk membuat insulin ekstra. Ini dapat menyebabkan bayi tumbuh terlalu besar (makrosomia). Bayi yang sangat besar lebih mungkin membutuhkan persalinan Cesar.
    b. Gula darah rendah (hypoglikemia). Kadang-kadang bayi dari ibu dengan diabetes gestasional mengembangkan gula darah rendah (hipoglikemia) tak lama setelah kelahiran karena produksi insulin mereka sendiri tinggi. Pemberian makanan yang cepat dan terkadang larutan glukosa intravena dapat mengembalikan kadar gula darah bayi menjadi normal [7].


Faktor Risiko

  1. Gaya hidup sedentary: kegiatan yang mengacu pada segala jenis aktivitas yang dilakukan di luar waktu tidur, dengan karakteristik keluaran kalori sangat sedikit yakni <1 .5="" li="" mets.="">
  2. Aktivitas fisik 
  3. Merokok 
  4. Konsumsi alkohol 
  5. Diet (dapat dimodifikasi untuk T2DM)
  6. Faktor-faktor diet yang dapat meningkatkan risiko diabetes adalah mengkonsumsi biji-bijian olahan dalam jumlah yang berlebihan, minuman yang dimaniskan dengan gula, daging merah dan alkohol. Studi telah menunjukkan bahwa diet rendah serat dengan indeks glikemik tinggi secara positif terkait dengan risiko DM tipe 2 yang lebih tinggi. Makanan yang mengandung asam lemak tertentu, asupan alkohol dan minuman ringan dapat mempengaruhi resistensi insulin. 
    • Sering mengonsumsi vitamin K bermanfaat dalam homeostasis glukosa, dan berkorelasi dengan sensitivitas insulin yang lebih besar. 
    • Sering mengonsumsi vitamin D bermanfaat karena memiliki peran penting dalam sintesis dan pelepasan insulin. Selain itu juga vitamin D menaikkan sensitivitas insulin dengan mengendalikan fluks kalsium melalui membran di sel β dan jaringan target insulin perifer.
  7. Depresi. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa depresi adalah faktor risiko yang signifikan untuk mengembangkan DM tipe 2. Pada wanita dengan suasana hati tertekan dan menggunakan antidepresan karena mengubah homeostasis glukosa dan meningkatkan berat badan [8].
  8. Skizofrenia. Skizofrenia telah dikaitkan dengan risiko diabetes tipe 2. Pensinyalan disfungsional yang melibatkan protein kinase B (Akt) adalah mekanisme yang memungkinkan untuk skizofrenia. Selain itu, kecacatan Akt yang didapat berhubungan dengan gangguan regulasi glukosa darah dan diabetes banyak terjadi pada pasien pertama pengobatan dengan skizofrenia. Selain itu, antipsikotik generasi kedua dikaitkan dengan risiko lebih besar untuk diabetes tipe-2 [9].

Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi

  1. Aktivitas fisik dapat berkontribusi terhadap penurunan 30-50% dalam pengembangan T2DM. Berjalan merupakan pilihan aktivitas fisik yang paling populer, telah terbukti mengurangi risiko relatif T2DM sebesar 60% ketika berjalan selama 150 menit / minggu, dibandingkan dengan berjalan selama 
  2. Faktor-faktor yang berlawanan adalah asupan sereal gandum, sayuran, susu, kacang-kacangan, kacang yang mudah mengalami perubahan berat badan 
  3. Penurunan asupan lemak total dan jenuh dan peningkatan kepadatan serat dalam makanan 
  4. Manajemen obesitas


Komplikasi DM

Komplikasi DM akut:

Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kondisi di mana terjadinya penurunan kadar gula darah yang drastis akibat terlalu banyak insulin dalam tubuh, terlalu banyak mengonsumsi obat penurun gula darah, atau terlambat makan. Gejalanya meliputi penglihatan kabur, detak jantung cepat, sakit kepala, gemetar, keringat dingin, dan pusing. Kadar gula darah yang terlalu rendah bisa menyebabkan pingsan, kejang, bahkan koma.

Ketosiadosis diabetik 
Ketosiadosis diabetik adalah kondisi kegawatan medis akibat peningkatan kadar gula darah yang terlalu tinggi. Ini adalah komplikasi diabetes melitus yang terjadi ketika tubuh tidak dapat menggunakan gula atau glukosa sebagai sumber bahan bakar, sehingga tubuh mengolah lemak dan menghasilkan zat keton sebagai sumber energi. Kondisi ini dapat menimbulkan penumpukan zat asam yang berbahaya di dalam darah, sehingga menyebabkan dehidrasi, koma, sesak napas, bahkan kematian, jika tidak segera mendapat penanganan medis.

Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS)
Kondisi ini juga merupakan salah satu kegawatan medis pada penyakit kencing manis, dengan tingkat kematian mencapai 20%. HHS terjadi akibat adanya lonjakan kadar gula darah yang sangat tinggi dalam waktu tertentu. Gejala HHS ditandai dengan haus yang berat, kejang, lemas, dan gangguan kesadaran hingga koma. Selain itu, diabetes yang tidak terkontrol juga dapat menimbulkan komplikasi serius lain, yaitu sindrom hiperglikemi hiperosmolar nonketotik [10].


Komplikasi DM kronis:

Penyakit kardiovaskular
Diabetes meningkatkan risiko berbagai masalah kardiovaskular, termasuk penyakit arteri koroner dengan nyeri dada (angina), serangan jantung, stroke, dan penyempitan arteri (aterosklerosis). 

Kerusakan saraf (neuropati)
Gula berlebih bisa melukai dinding pembuluh darah kecil (kapiler) terutama di bagian Hal ini dapat menyebabkan kesemutan, mati rasa, terbakar atau sakit yang biasanya dimulai di ujung jari kaki atau jari dan secara bertahap menyebar ke atas. Kerusakan saraf yang berkaitan dengan pencernaan dapat menyebabkan masalah dengan mual, muntah, diare atau sembelit. Bagi pria dapat menyebabkan disfungsi ereksi.

Kerusakan ginjal (nefropati)
Ginjal mengandung jutaan kluster pembuluh darah kecil (glomeruli). Diabetes merusak sistem filtrasi dari glomeruli. Kerusakan parah dapat menyebabkan gagal ginjal atau penyakit ginjal tahap akhir yang tidak dapat disembuhkan, yang mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.

Kerusakan mata (retinopati)
Diabetes dapat merusak pembuluh darah retina (diabetic retinopathy), yang berpotensi menyebabkan kebutaan. Diabetes juga meningkatkan risiko kondisi penglihatan serius lainnya, seperti katarak dan glaukoma.

Kerusakan kaki
Kerusakan saraf pada kaki atau aliran darah yang buruk ke kaki meningkatkan risiko berbagai komplikasi kaki. Jika tidak diobati, luka dan lecet dapat mengembangkan infeksi serius, yang seringkali sembuh dengan buruk. Infeksi ini pada akhirnya mungkin memerlukan amputasi jari kaki, kaki atau kaki.

Komplikasi DM kronis biasanya berkembang secara bertahap dan terjadi ketika diabetes tidak dikelola dengan baik. Tingginya kadar gula darah yang tidak terkontrol dari waktu ke waktu akan meningkatkan risiko komplikasi, yaitu kerusakan serius pada seluruh organ tubuh [10].


Diagnosis DM

Kriteria Diagnostik DM berdasarkan Konsensus Perkeni 2015

Menurut Perkeni (2015), diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
  • Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
  • Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel: Kriteria Diagnostik DM


Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
  • Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 dl="" li="" mg="">
  • Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 dl="" li="" mg="">
  • Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
  • Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
Tabel: Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan prediabetes
Tabel: Cara pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus Tipe-2 dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM yaitu:
  1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
    • Aktivitas fisik yang kurang.
    • First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
    • Kelompok ras/etnis tertentu.
    • Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
    • Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
    • HDL <35 atau="" dan="" dl="" mg="" trigliserida="">250 mg/dL.
    • Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
    • Riwayat prediabetes.
    • Obesitas berat, akantosis nigrikans.
    • Riwayat penyakit kardiovaskular.
  2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
  3. Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti pada tabel di bawah ini [5].
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM


Kriteria Diagnostik DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA)

Kriteria diagnostik berdasarkan American Diabetes Association (ADA) meliputi:
  • Glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose [FPG]) ≥ 126 mg / dL (7,0 mmol / L), atau
  • Tingkat glukosa plasma 2 jam ≥200 mg / dL (11,1 mmol / L) selama tes toleransi glukosa (oral oral glucose tolerance test [OGTT]), atau
  • Glukosa plasma sewaktu ≥200 mg / dL (11,1 mmol / L) pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik 
Pemeriksaan HbA1c berfungsi untuk mengukur rata-rata jumlah hemoglobin A1c yang berikatan dengan gula darah (glukosa) selama tiga bulan terakhir. Durasi ini sesuai dengan siklus hidup sel darah merah, termasuk hemoglobin, yaitu tiga bulan. Indikasi untuk skrining diabetes pada orang dewasa tanpa gejala termasuk yang berikut:
  • Normal: jumlah HbA1c < 5,7%
  • Prediabetes: jumlah HbA1c antara 5,7 - 6,4%
  • Diabetes: jumlah HbA1c ≥ 6,5%
Indikasi untuk skrining diabetes pada orang dewasa tanpa gejala;
  • Tekanan darah berkelanjutan > 135/80 mm Hg
  • Kelebihan berat badan dan terdapat faktor risiko lain untuk diabetes (mis., Tingkat-pertama relatif dengan diabetes, BP >140/90 mm Hg, dan HDL <35 atau="" dan="" dl="" kadar="" mg="" trigliserida="">250 mg/dL)
  • ADA merekomendasikan skrining pada usia 45 tahun tanpa adanya kriteria di atas [11].


Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Menurut Perkeni (2015), tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes, yang meliputi:
  1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
  2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
  3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.

Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum

1. Riwayat Penyakit
  • Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
  • Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan berat badan.
  • Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
  • Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri.
  • Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani.
  • Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, hipoglikemia).
  • Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenital.
  • Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata, jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
  • Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
  • Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).
  • Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
  • Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
  • Pengukuran tinggi dan berat badan.
  • Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
  • Pemeriksaan funduskopi.
  • Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
  • Pemeriksaan jantung.
  • Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
  • Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
  • Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi, necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan insulin).
  • Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
3. Evaluasi Laboratorium
  • Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah TTGO.
  • Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis DMT2 melalui
pemeriksaan:
  • Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
  • Tes fungsi hati
  • Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
  • Tes urin rutin
  • Albumin urin kuantitatif
  • Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
  • Elektrokardiogram.
  • Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung kongestif).
  • Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer. Bila fasilitas belum tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier [5]

Referensi

  1. World Health Organization. Classification of Diabetes Mellitus. Geneva, Switzerland; 2019.
  2. Moini J. Pathophysiology of Diabetes. In: Epidemiology of Diabetes [Internet]. Elsevier; 2019. p. 25–43. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/B9780128168646000031
  3. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
  4. McCance, K. L., & Huether, S. E. Pathophysiology: The biologic basis for disease in adults and children.7th ed. St. Louis, MO: Elsevier : 2014.
  5. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. PB. Perkeni; 2015.  Available from: https://pbperkeni.or.id/wp-content/uploads/2019/01/4.-Konsensus-Pengelolaan-dan-Pencegahan-Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-PERKENI-2015.pdf.
  6. Romesh Khardori. Type 2 Diabetes Mellitus [Internet]. [cited 2020 May 9]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/117853-overview.
  7. Baz B, Riveline JP, Gautier JF. Gestational diabetes mellitus: Definition, aetiological and clinical aspects. Eur J Endocrinol. 2016;174(2):R43–51.
  8. Pan A, Lucas M, Sun Q, et al. Bidirectional association between depression and type 2 diabetes mellitus in women. Arch Intern Med. 2010;170(21):1884‐1891. 
  9. Siuta MA, Robertson SD, Kocalis H, et al. Dysregulation of the norepinephrine transporter sustains cortical hypodopaminergia and schizophrenia-like behaviors in neuronal rictor null mice. PLoS Biol. 2010;8(6):e1000393. Published 2010 Jun 8. 
  10. Wu Y, Ding Y, Tanaka Y, Zhang W. Risk factors contributing to type 2 diabetes and recent advances in the treatment and prevention. Int J Med Sci. 2014;11(11):1185‐1200. Published 2014 Sep 6. 
  11. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes—2019. Diabetes Care. 2019;42(1)

Kontributor:
Naufal dan Anita

Posting Komentar

0 Komentar