Gut-Brain Axis (Aksis Usus-Otak)

Pendahuluan

Penelitian-penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara bakteri komensal usus dengan otak. Perubahan komposisi bakteri komensal usus akan memberikan dampak terhadap fisiologis otak yang berkaitan dengan fungsi kognitif, memori, dan prilaku. Setidaknya, terdapat lima jalur komunikasi bakteri komensal usus dengan otak pada mekanisme gut-brain axis, yaitu melalui jalur neuroanatomical, neuroendocrine-HPA axis, gut immune system, gut microbiota metabolism system, dan intestinal mucosal and blood brain barrier (Khlevner, Park dan Margolis, 2018)

Struktur dan komposisi bakteri komensal di dalam usus bervariasi antar setiap individu. Struktur dan komposisi ini bersifat dinamis, dapat berubah sesuai dengan perkembangan manusia. Beberapa faktor yang turut berperan dalam sifat dinamis bakteri komensal yaitu adanya infeksi, penggunaan antibiotik, dan stres.  Bakteri-bakteri komensal ini mampu memberikan dampak positif bagi kesehatan manusia termasuk hubungannya dengan fisiologis dan kesehatan otak (Khlevner, Park dan Margolis, 2018)

Otak sendiri juga dapat mempengaruhi struktur dan komposisi bakteri komensal di dalam usus dengan memodulasi motilitas usus, aktivitas sekresi kelenjar, dan permeabilitas usus. Sedangkan, definisi gut-brain axis (GBA) adalah mekanisme komunikasi dua arah antara bakteri komensal usus dan otak melalui pensinyalan dari usus-mikrobiota ke otak dan dari otak ke usus mikrobiota melalui hubungan neural, endokrin, imun, dan humoral (Martin et al., 2018).

Berdasarkan penilitian pada hewan coba, beberapa penyakit yang terkait dengan neuropsikiatri dapat dikaitkan dengan keberadaan dan komposisi dari mikrobiota yang terdapat pada sistem GI, misalnya depresi, kecemasan, autisme, skizofrenia, Parkinson, dan Alzheimer. Hal ini merupakan suatu hal yang baru dan menarik di dalam dunia ilmu kedokteran (Kovatcheva-Datchary, Tremaroli dan Bäckhed, 2013).

Pembahasan

Usus dikendalikan oleh sistem saraf otonom yang terdiri dari sistem parasimpatis, simpatis, dan sistem saraf enterik (SSE) (Rivera-Iñiguez et al., 2019). SSE terdiri dari saraf mienterikus (plexus Auerbach) dan saraf submukosa (pleksus Meissner). SSE terdiri dari lebih dari 100 juta neuron yang diorganisasikan ke dalam mikrosirkuit yang sangat kompleks yang dapat berfungsi secara independen dari sistem saraf pusat (SSP) dan medulla spinalis (Reza et al., 2015). Komunikasi SSE dengan SSP bersifat kontinu dan dua arah (Gambar. 1). Komunikasi ini biasanya terjadi melalui sistem saraf perifer dan sistem saraf simpatis, masing-masing melalui saraf vagus dan ganglia prevertebralis (Cerniglia, 2018; Khlevner, Park dan Margolis, 2018)

Gambar: Hubungan antara sistem saraf enterik dan sistem saraf pusat (Khlevner, Park dan Margolis, 2018).

SSE digambarkan sebagai otak kedua karena banyak kesamaannya dengan SSP. Hampir setiap kelas neurotransmitter yang ditemukan di SSP juga terdeteksi di SSE. Lebih lanjut, pengembangan SSE menunjukkan banyak kesamaan dengan SSP. Pengaruh lingkungan dan genetik pada pengembangan dan fungsi SSP mungkin, karenanya, juga mempengaruhi parameter-parameter ini dalam SSE (Khlevner, Park dan Margolis, 2018).

Sekelompok mediator tambahan yang memfasilitasi interaksi otak-usus berasal dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA). Aksis HPA adalah bagian dari sistem limbik, yang merupakan area otak yang sebagian besar terlibat dalam respons emosional. Aktivasi aksis HPA dapat diprakarsai oleh stresor atau sitokin proinflamasi sistemik yang menginduksi sekresi faktor pelepas kortikotropin (CRF) dari hipotalamus. Sekresi CRF merangsang sekresi hormon adrenokortikotropik dari kelenjar hipofisis yang, pada gilirannya, menyebabkan pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal (Khlevner, Park dan Margolis, 2018). Kortisol adalah kunci dalam respons stres dan mungkin memainkan peran penting dalam fisiologi irritable bowel syndrome (IBS) (Rivera-Iñiguez et al., 2019).

Gambar: Pengaruh aksis HPA terhadap aksis GBA (Khlevner, Park dan Margolis, 2018).

Lebih dari 1 milyar organisme yang mendiami usus mempengaruhi perkembangan dan fungsi SSE dan SSP manusia, termasuk motilitas GI, suasana hati, kognisi, dan pembelajaran. Populasi mikroba ini berkomunikasi langsung dengan SSP dan SSE melalui saraf vagus, serta dengan produksi metabolit aktif yang secara langsung mempengaruhi fungsi enterik (Rivera-Iñiguez et al., 2019). Mikrobiota juga dapat bertindak secara tidak langsung pada SSP oleh produksi metabolit yang dibawa dalam darah dan melewati sawar darah otak. Manipulasi mikroba enterik dapat menjadi cara baru untuk mengembangkan saraf, misalnya dengan konsumsi probiotik (Leprun dan Clarke, 2019; Osadchiy, Martin dan Mayer, 2019)

Persinyalan gut-brain axis diatur oleh 2 penghalang dinamis: pertama, penghalang usus, yang terdiri dari satu lapisan dasar sel epitel yang dihubungkan oleh tight junction dan lapisan mukosa yang mengandung sekretori IgA dan peptida antimikroba; kedua, sawar darah otak yang terdiri dari sel-sel endotel serebral yang saling terhubung oleh tight junction (Osadchiy, Martin dan Mayer, 2019)

Saat menanggapi produk mikroba tertentu, reseptor pengenal di mukosa gastrointestinal (GI) dapat mengaktifkan peningkatan pertahanan antimikroba, peradangan usus, dan toleransi imunologis. Penghalang epitel usus juga memainkan peran penting selama kondisi homeostatis yang sehat karena mikroorganisme dan makromolekul dapat masuk melalui sel-sel mikrofold dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan mukosa, serta memungkinkan pengambilan sampel konstan dari lingkungan luminal usus oleh sel-sel imun. Lapisan mukosa yang dihuni oleh mikroorganisme komensal merupakan penghalang dinamis yang mempertahankan biofilm kaya glikoprotein. Biofilm pelindung ini dapat terdegradasi oleh mikroba selama periode serat makanan rendah, sehingga meningkatkan kerentanan patogen. Permeabilitas penghalang usus juga dapat dipengaruhi oleh mediator inflamasi dan oleh aktivitas sistem saraf simpatik (Osadchiy, Martin dan Mayer, 2019).

Sementara itu, sawar darah otak merupakan penghalang difusi antara sistem sirkulasi dan cairan serebrospinal dari SSP. Mikrobiota usus dapat mempengaruhi permeabilitas penghalang ini dengan memodulasi ekspresi protein tight junction. Asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid [SCFA]) dapat bertindak sebagai metabolit persinyalan kunci yang mengatur pengembangan dan pemeliharaan sawar darah otak yang dipengaruhi mikrobiota melalui modifikasi epigenetik. Selain itu, lipopolisakarida juga dapat berperan walaupun lebih terbatas dalam mengganggu sawar darah otak melalui aktivasi sistemik imun (Kovatcheva-Datchary, Tremaroli dan Bäckhed, 2013).

Komunikasi dari mikrobioma usus ke SSP terjadi melalui zat antara yang diturunkan dari mikroba, contohnya asam lemak rantai pendek (SCFA), asam empedu sekunder (2BAs), dan metabolit triptofan (Martin et al., 2018). Meskipun beberapa perantara ini berinteraksi langsung dengan sel-sel enteroendokrin, sel-sel enterokromafin, dan sistem kekebalan mukosa untuk menyebarkan persinyalan dari bawah ke atas, perantara lainnya mampu melintasi penghalang usus untuk memasuki sirkulasi sistemik, dan bahkan melewati sawar darah otak. Masih belum jelas apakah perantara yang diturunkan mikroba ini mencapai lokasi otak secara langsung untuk memodifikasi sirkuit otak yang berbeda atau sinyal mikroba dapat berkomunikasi melalui jalur saraf yang melibatkan aferen vagal atau spinal (Mravec et al., 2015)

Semakin banyak bukti telah menunjukkan peran penting mikrobiota usus dalam persinyalan neuroimun. Penelitian yang melibatkan tikus bebas kuman (GF) dan tikus yang terpapar antibiotik spektrum luas secara konsisten menunjukkan efek buruk pada proses perkembangan saraf dan penyakit neurodegeneratif akibat gangguan persinyalan neuromodulator yang melibatkan mikrobiota usus (Reza et al., 2015). Interaksi antara mikrobiota dan SSP melibatkan pengembangan mikroglial. Mikroglia merupakan sel imun bawaan SSP yang paling berlimpah. Sel-sel ini terlibat dalam pengembangan SSP sejak dini, presentasi antigen, fagositosis, dan memodulasi peradangan (Liang, Wu dan Jin, 2018). Hasil dari penelitian tersebut, tikus GF dan tikus yang diobati dengan antibiotik menunjukkan peningkatan proporsi mikroglia imatur. Hal ini menunjukkan bahwa peran mikrobiota usus dalam waktu perkembangan itu penting (Skonieczna-Żydecka et al., 2019).

Kesimpulan

Terdapat hubungan timbal balik pada SSP dan traktus GI. Komposisi mikrobiota pada GI memiliki pengaruh terhadap otak baik bagi perkembangan otak maupun perilaku. Pengaruh yang diberikan oleh mikrobiota GI terhadap otak dapat terjadi jika mikrobiota dapat melewati penghalang usus dan sawar darah otak. Penilitian yang telah dilakukan juga menunjukkan kemampuan mirobita GI yang dapat menghasilkan senyawa neurokimiawi sehingga dapat memodulasi SSE yang nantinya dapat memepengaruhi perkembangan otak dan perilaku. Penilitian yang dilakukan juga menunjukkan bererapa penyakit dan gangguan yang mungkin terkait dengan dengan komposisi mikrobiota GI. Namun, mekanisme pasti bagaimana mikrobiota mempengaruhi SSP belum diketahui sepenuhnya sehingga masih perlu dilakukan penelitian lebih banyak lagi.

Referensi

Cerniglia, C. E. (2018) “The Microbiome Gut–Brain Axis,” in Handbook of Developmental Neurotoxicology. Elsevier, hal. 265–273. doi: 10.1016/b978-0-12-809405-1.00023-7.
Khlevner, J., Park, Y. dan Margolis, K. G. (2018) “Brain–Gut Axis,” Gastroenterology Clinics of North America. Elsevier Inc, 47(4), hal. 727–739. doi: 10.1016/j.gtc.2018.07.002.
Kovatcheva-Datchary, P., Tremaroli, V. dan Bäckhed, F. (2013) “The Gut Microbiota,” in The Prokaryotes. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg, hal. 3–24. doi: 10.1007/978-3-642-30144-5_87.
Leprun, P. M. B. dan Clarke, G. (2019) “The gut microbiome and pharmacology: a prescription for therapeutic targeting of the gut–brain axis,” Current Opinion in Pharmacology. Elsevier Ltd, 49, hal. 17–23. doi: 10.1016/j.coph.2019.04.007.
Liang, S., Wu, X. dan Jin, F. (2018) “Gut-Brain Psychology: Rethinking Psychology From the Microbiota–Gut–Brain Axis,” Frontiers in Integrative Neuroscience, 12(33). doi: 10.3389/fnint.2018.00033.
Martin, C. R. et al. (2018) “The Brain-Gut-Microbiome Axis,” Cmgh. Elsevier Inc, 6(2), hal. 133–148. doi: 10.1016/j.jcmgh.2018.04.003.
Mravec, B. et al. (2015) “Subdiaphragmatic vagotomy enhances stress-induced epinephrine release in rats,” Autonomic Neuroscience: Basic and Clinical. Elsevier B.V., 190, hal. 20–25. doi: 10.1016/j.autneu.2015.04.003.
Osadchiy, V., Martin, C. R. dan Mayer, E. A. (2019) “The Gut–Brain Axis and the Microbiome: Mechanisms and Clinical Implications,” Clinical Gastroenterology and Hepatology. Elsevier, Inc, 17(2), hal. 322–332. doi: 10.1016/j.cgh.2018.10.002.
Reza, B. et al. (2015) “Cardiac responsiveness to beta-adrenergics in rats with leadinduced hypertension,” Biology and Medicine, 28(2), hal. 203–209.
Rivera-Iñiguez, I. et al. (2019) “Impact of the Gut Microbiome on Behavior and Emotions,” in Microbiome and Metabolome in Diagnosis, Therapy, and other Strategic Applications, hal. 379–390. doi: 10.1016/b978-0-12-815249-2.00040-3.
Skonieczna-Żydecka, K. et al. (2019) “The Emerging Role of Microbiome–Gut–Brain Axis in Functional Gastrointestinal Disorders,” in Microbiome and Metabolome in Diagnosis, Therapy, and other Strategic Applications. Elsevier, hal. 251–264. doi: 10.1016/B978-0-12-815249-2.00026-9.

Kontributor:
Naufal 

Posting Komentar

0 Komentar