Artikel berikut ini merupakan jurnal reading dengan judul asli "Mast Cells In Allergic Asthma And Beyond".
Overview
Sel mast adalah sel efektor dalam reaksi tipe I yang diperantarai IgE sebagai pertahanan inang terhadap parasit. Sel mast terdapat pada semua jaringan yang terpapar langsung dengan lingkungan dan dapat menghasilkan berbagai macam reseptor serta turut berperan dalam menginduksi respon anti-bakteri. Selain itu, sel mast juga menjadi modulator aktivasi sistem imun adaptif. Dalam asma alergi, sel mast memproduksi mediator-mediator sebagai responnya.
Sel mast berasal dari sel punca
hematopoietik pluripoten yang bisa dijumpai di semua jaringan yang terpapar
lingkungan, misalnya kulit, usus, dan paru-paru. Sel ini berlokasi di dalam epitel, jaringan,
pembuluh limfonodi, saraf, dan folikel rambut. Subtipe sel mast pada manusia dinamai
sesuai dengan isi proteasenya. Misalnya sel MCT sel mast
menyimpan tryptase di granula mereka berbeda dengan MCCT sel
yang mengekspresikan chymase dan tryptase. MCCT ditemukan
di kulit, limfonodi, dan submukosa lambung dan usus. Sebaliknya, MCT lebih
dominan di paru-paru dan mukosa usus yang berdekatan dengan sel-sel imun lain
seperti sel T. Sedangkan pada tikus sel mast yang berada di jaringan
mukosa dinamai sel mast mukosa (mucosal mast cells [MMC]) dan sel mast
serosal dapat ditemukan dalam jaringan ikat (connective tissue mast cells
[CTMC]).
Sel mast berinteraksi dengan
lingkungannya melalui sejumlah mediator: Beberapa di antaranya disimpan dalam granula sel mast
dan beberapa diproduksi secara de novo setelah
aktivasi. Mediator sel mast terbagi dalam beberapa kelas, yaitu zat
yang sudah terbentuk sebelumnya, mediator lipid, dan sitokin serta
kemokin. Heparin, protease chymase netral, tryptase, dan karboksipeptidase
A serta aminnya seperti histamin sudah tersimpan dalam bentuk granula dan dapat dilepaskan dalam beberapa
menit setelah aktivasi sel mast. Mediator lipid dihasilkan dari asam
arakidonat oleh siklooksigenase (cyclooxygenase [COX]) serta
prostaglandin endoperoksida sintase-1 dan -2 ke prostaglandin 2 (PGD2) atau
dengan 5-lipoksigenase menjadi leukotrien A4 (LTA4). Leukotrien A4 dapat dimetabolisme
lebih lanjut menjadi LTB4, LTC4 atau LTD4.
Akhirnya, sel mast adalah sumber spektrum sitokin dan kemokin yang sangat
besar. Sel mast juga menyimpan tumor necrosis factor (TNF) yang
akan dilepaskan segera setelah aktivasi sel mast.
Sel mast dapat melepaskan pola mediator
yang berbeda tergantung kekuatan rangsangannya. Jalur aktivasi dan
degranulasi sel mast dimediasi reseptor IgE yang berafinitas tinggi terhadap FcεRI nonspesifik melalui super
antigen. Setelah aktivasi, granula menyatu dengan membran sel dan
melepaskan mediator yang disimpannya. Metabolisme asam arakidonat,
pelepasan PGD2, dan leukotrien akan mengalami degranulasi
kemudian terjadi induksi sitokin dan kemokin secara de novo. Selain
reseptor FcεRI, sel mast mengekspresikan reseptor Fcγ yang dimediasi IgG untuk
aktivasinya. Reseptor ini juga berperan penting dalam penyakit autoimun
arthritis dan ensefalitis. Secara in vivo, antibodi IgG1 pada tikus
terbukti berkontribusi terhadap aktivasi mediator reseptor Fcγ dan degranulasi
sel mast. Di antara beberapa reseptor Fcγ, Fcγ RIIB menunjukkan efek pengaturan
negatif terhadap aktivasi sel mast yang dimediasi IgE. Studi pada tikus
yang kekurangan Fcγ RIIB menunjukkan bahwa terjadi peningkatan reaksi
anafilaksis dan kerentanan terhadap rhinitis alergi.
Selain imunoglobulin, pengaktifkan sel mast dapat melalui
rangsangan eksogen dan endogen. Sel mast mengekspresikan berbagai reseptor
yang berafiliasi dengan imunitas bawaan adaptif dan dapat mendeteksi pola
mikroba tertentu. Aktivasi melalui reseptor-reseptor ini mengarah pada
respon imunologis yang cepat untuk pembersihan patogen secara cepat. Sel mast yang berada di setiap jaringan memiliki
kontak pertama dengan lingkungan, maka ia merupakan sel yang pertama bertemu dengan patogen melalui ekspresi dari toll like receptor (TLR) -1, -2, -3, -4, -6, -7, -9
serta reseptor komplemen dan CD48. Aktivasi melalui TLR dapat melepaskan mediator yang berbeda tergantung pada ligannya.
Sel Mast dalam Imunitas Adaptif
Induksi respon imun adaptif yang adekuat
penting untuk imunitas jangka panjang. Sel mast dapat menginduksi dan
memodulasi respons imun adaptif dan berkontribusi pada perkembangan berbagai
penyakit. Sel dendritik (Dendritic Cell [DC]) adalah sel penyaji antigen yang
paling khusus dari tubuh dan sel yang paling penting untuk menginduksi respon
imun adaptif. Setelah diaktivasi, DC akan matur dan bermigrasi ke limfonodi
serta bertindak sebagai sel penyaji antigen dengan mengaktifkan antigen
spesifik sel T. Sel mast juga menginduksi migrasi sel Langerhans dari kulit ke limfonodi
regional setelah diaktivasi oleh IgE alergen dan IgE-independent. Sel mast diperlukan untuk sensitisasi yang
efektif, dalam model hipersensitivitas kontak. Sel mast akan memproduksi TNF untuk meningkatkan
migrasi DC dari kulit atau paru-paru ke limfonodi regional.
Mediator yang diproduksi sel mast juga dapat mengaktifkan sel
penyaji antigen. Beberapa mediatornya yaitu histamin, PDE2, dan PGD2 yang
memodulasi DC untuk menginduksi perkembangan Th2. Selain itu, sel
mast juga mengaktifkan sel T dengan mekanisme contact-dependent dan contact-independent. Melalui
sekresi mediator, sel mast mampu menarik sel T ke limfonodi regional sehingga dapat menginduksi hiperplasia. Selain itu,
sel mast juga dapat langsung mengaktifkan sel T menggunakan TNF. Bukti
penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa sel mast dapat
memproses antigen dan mampu mempresentasikannya melalui komplek MHC I atau MHC
II. Ekspresi MHC I dapat mengaktivasi sel T CD8+.
Namun, ekspresi MHC II dan molekul kostimulatori yang diregulasi masih
kontroversial. Menariknya, sel mast dapat melepaskan eksosom yang mengandung
molekul dan antigen kostimulatori sehingga menyebabkan pematangan sel dendritik
fenotipik dan fungsional.
Asma dan Sel Mast
Asma adalah penyakit radang kronis pada
saluran respirasi yang ditunjukkan dengan fenotipe klinis heterogennya. Fenotipe asma
dibedakan pada karakteristik klinis dan pola peradangan di saluran
respirasi. Pada anak-anak, asma dibedakan menjadi mengi bayi sementara,
mengi non-atopik dan mengi alergi. Namun, penyakit ini juga dapat berkembang
selama atau setelah pubertas. Terlepas dari fenotipe, patofisiologis asma
ditandai oleh tiga ciri utama yaitu inflamasi jalan nafas,
hiperreaktivitas, dan obstruksi bronkus. Inflamasi ditandai oleh masuknya
sel-sel inflamasi misalnya sel T, neutrofil, dan eosinofil. Pola inflamasi
tipe sel tergantung pada fenotipe asma, durasi, tingkat keparahan penyakit, dan
pengobatan. Di saluran pernapasan, sel mast dapat ditemukan dekat dengan pembuluh darah di lamina
propria mukosa saluran respirasi. Pada pasien asma, sel mast juga
bermigrasi ke struktur lain seperti epitel saluran napas, glandula
mukosa, dan otot polos saluran respirasi. Kedekatan secara anatomi
ini secara in vitro terbukti adanya interaksi langsung antara sel
mast dan sel otot polos saluran respirasi. Hal ini menunjukkan bahwa sel mast
mempunyai peran penting dalam patofisiologi penyakit asma. Sel mast dan sel
otot polos berinteraksi dalam crosstalk. Sel mast dapat menginduksi
ekspresi TGF-β1 dalam sel otot polos melalui pelepasan β triptase,
sehingga diferensiasi sel otot menjadi fenotipe kontraktil. Selain itu, sel
otot polos dapat meningkatkan kelangsungan hidup sel mast dengan cara contact-dependent
serta dapat menginduksi degranulasi sel mast. Akan tetapi, sel mast tidak
mempengaruhi proliferasi dan kelangsungan hidup sel otot polos.
Pada pasien dengan asma alergi, inhalasi aeroallergen
menyebabkan ikatan silang IgE yang terikat membran melalui alergen sehingga
menginduksi pelepasan mediator sel mast tipe cepat seperti histamin,
leukotrien, protease dan prostagladin yang dapat dideteksi pada peningkatan
konsentrasi di broncho-alveloar lavage (BAL). Mediator ini
menyebabkan vasodilatasi, kontraksi otot polos, dan sekresi mukus. Selain
itu, mediator ini juga menyebabkan infiltrasi sel inflamasi seperti neutrofil,
eosinofil, basofil, Sel T CD4+, dan sel mast yang berhubungan dengan
pembengkakan dinding bronkial serta peningkatan airway hyperresponsiveness
(AHR) non-spesifik.
Peran dan fungsi sel mast dalam pengembangan awal asma alergi tidak
dapat diselidiki pada manusia karena alasan etis. Oleh karena itu, penelitian
pada hewan diperlukan untuk menilai interaksi molekuler dan seluler yang
berperan dalam induksi dan eksaserbasi penyakit. Kemudian digunakanlah
model tikus untuk menganalisis patomekanisme penyakit alergi saluran
respirasi. Model tikus ini dapat meniru banyak fitur asma manusia. Namun,
karena perbedaan fisiologi antara tikus dan manusia, tidak semua temuan dengan
model murine dapat ditransfer ke kondisi manusia. Walaupun demikian, model murine dapat membantu mengungkapkan banyak aspek
patofisiologis penting mengenai peran sel mast dalam pengembangan asma alergi.
Model Murine untuk Menganalisis Asma Alergi dan Sel Mast
Model murine adalah salah satu media untuk
menganalisis peran dari sel mast. Tikus liar dan tikus yang mengalami
defisiensi dari sel mast diinjeksikan alergen untuk mengetahui peran dari sel
mast, sel B, IgE atau FcεRI pada reaksi hipersensitifitas dan inflamasi pada saluran
respirasi. Kadar dari eosinofil dapat ditingkatkan oleh sel mast yang akan
menyebabkan peningkatan hipersensitifitas atau induksi fibrosis dari lapisan
subepitel. Alumunium hidroksida (alum) merupakan adjuvant pada prosedur imunisasi
melalui kerja NLP3 dan induksi proliferasi Th2, alum juga berkaitan dengan sel mast dan
makrofag. Pada penelitian dengan prosedur sensitisasi tanpa adanya adjuvan menunjukan adanya respon alergi pada saluran pernafasan.
Penilaiannya didasarkan pada hewan yang mengalami defisiensi sel mast dan ditransplantasikan dengan sel mast dari sum-sum
tulang (bone marrow-derived mast cell [BMMC]).
Mediator Sel Mast pada Asma Alergi
a. Tumor Necrosis Factor (TNF)
Rekonstruksi defisiensi sel mast dengan BMMC
dari tikus lab yang mengalami defisiensi TNF menunjukan respon inflamasi yang
lebih ringan dan AHR yang berkurang dibandingkan tikus yang direkonstruksi
dengan BMMC tikus liar. Pada asma alergi, ditemukan kadar TNF meningkat pada model murine dan
manusia. Fungsi TNF adalah menginduksi ekspresi mukus dan respon imun tipe lambat. Hewan yang
mengalami defisiensi TNF lebih tidak rentan terkena penyakit asma alergi, dibandingkan tikus liar.
b. Histamin
Histamin mempunyai empat jenis reseptor histamin
(histamin receptor [HR]) yang menimbulkan efek berbeda. Sel dendritik
yang aktif akan mengeluarkan histamin dan ditangkap oleh H1R dan H3R
untuk menginduksi respon pro-inflamasi dengan meningkatkan presentasi antigen,
produksi sitokin, dan aktivitas Th1. Tetapi jika H2R yang
teraktivasi, maka akan terinduksi sekresi IL-10 dan regulasi
fenotif sel dendritik. Sel T yang teraktivasi oleh histamin akan terstimulasi
untuk mengeluarkan sitokin, seperti IFN-γ yang dikeluarkan oleh Th1
dan IL-4, IL-3 yang dikeluarkan oleh Th2. Sel mast sebagai sel pro-inflamasi,
dapat menekan sel T regulatory (Treg)
CD4+ CD25+. Menurut penelitian yang dilakukan Bryce,
tidak adanya reseptor H1 pada hewan tidak menunjukkan adanya asma
alergi
karena adanya defek pada migrasi sel T ke paru-paru. Reseptor H4
mempunyai peran penting juga, dimana antagonis dari H4 digunakan sebagai
penekan perkembangan alergi di saluran pernafasan pada model
murine.
c. Prostaglandin
Sel mast mempunyai kemampuan dalam mensintesis
mediator berbeda yang berbahan dasar lipid, salah satunya prostaglandin D2
(PGD2). Ekpresi yang berlebihan pada PGD2 akan
menyebabkan meningkatnya proses inflamasi pada saluran respirasi serta
peningkatan produksi sitokin dari Th2. Jika terjadi inhalasi PGD2
akan membuat inflamasi lebih parah, selain itu penghambatan produksi dari PGD2
akan mengurangi respon inflamasi. PGD2 mempunyai dua reseptor yang
memberikan efek berbeda. Reseptor PGD2 1 (DP1) memiliki
efek inflamasi, sedangkan reseptor PGD2 2 (DP2 atau
CRTH2) memiliki efek yang kontroversial. Agonis dari CRTH2
akan meningkatkan inflamasi dan antagonisnya menurunkan inflamasi. Pada tikus
yang mengalami defisiensi CRTH2 dapat teridentifikasi kenaikan
eosinofil dan IL-5. CRTH2 yang terstimulasi oleh PGD2
pada manusia yang diekspresikan oleh sel Th2 akan meningkatkan
produksi sitokin dengan tidak adanya kostimulasi. Oleh karena itu, salah satu
terapi untuk alergi pada saluran respirasi yaitu dengan menghambat CRTH2.
Namun, terapi yang menggunakan antagonis CRTH2 masih diuji pada
tahap klinis.
d. Leukotrien
Leukotrien juga merupakan mediator lipid
berbahan dasar asam arakidonat yang diproduksi oleh sel mast. Asam arakidonat
diubah menjadi leukotrien A4 dikarenakan adanya kompleks multiprotein
5-lipooksigenase (5-LO) yang akan berubah menjadi beberapa jenis leukotrien.
Leukotrien A4 menginduksi leukotrien cys (leukotrien C4; D4; E4), dimana
LTB4 diinduksi oleh enzim LT4 hidrolase. Leukotrien
mempunyai peran dalam rekuitmen sel T dan sel dendritik. LTC4 dan
LTD4 bekerja melalui reseptor CysLT2 yang berperan
penting
dalam fibrosis dan cedera vaskuler. Sedangkan, pengaplikasian inhalasi
LTE4 dapat menginduksi masuknya sel-sel inflamasi ke dalam
paru-paru. Leukotrien dan PGD2 akan bekerjasama dalam memodulasi
dan mempengaruhi sel immunokompeten serta memediasi respon imun adaptif. Dengan
demikian, mediator ini menjadi kunci dalam modulasi respon imun adaptif yang
bergantung pada sel mast.
e. Thymic Stromal Lymphopoitein (TSLP)
Thymic Stromal Lymphopoitein (TSLP) merupakan sitokin yang diproduksi oleh keratinosit, epitel, dan sel stroma. Kadar TSLP pada penderita asma mengalami up-regulation, dimana TSLP mengaktifkan sel Th2 yang mengakibatkan respon imun adaptif dan aktivasi sel dendritik. IgE pada sel mast yang teraktivasi akan membuat sel mast mengekspresikan TSLP dalam jumlah banyak.Sel Mast sebagai Modulator dan Respon Sel T pada Saluran Respirasi
Sel mast juga mempunyai peran dalam memediasi
sistem imun adaptif melalui aeroalergen
yang mengaktifkan sel T selain menginduksi adanya alergi pada saluran pernafasan. Aeroalergen biasanya menginduksi adanya toleransi. Sel dendritik yang ada di paru-paru selalu dalam keadaan siap dapat teraktivasi ketika diperantarai oleh TLR
yang berikatan dengan ligannya. Sel dendritik yang sudah teraktivasi
akan bermigrasi ke limfonodi kemudian akan menginduksi sel T spesifik dan
meningkatkan kostimulator. Secara in vitro,
telah dibuktikan bahwa sel dendritik dapat berubah menjadi sel Th2.
Secara in vivo, sel mast yang terpapar alergen memiliki keterlibatan dengan sel T priming. Sensitasi dapat terjadi dengan adanya protein low
lipopolisakaride (LPS) yang dimediasi oleh TLR-4, akan memproduksi TNF. IgE yang tidak terkait dengan sel mast juga mempunyai
kemampuan dalam menginisiasi respon dari sel T.
Alergi juga dapat disebabkan oleh hal lain disekitar kita, misalnya tungau rumah (D. pteronyssinus, D. Farinae). Tungau rumah dapat menginduksi pelepasan IgE dan sintesis mediator sel mast D. Farinae dapat menginduksi monosit dan sel T, meningkatkan proliferasi sel T, serta meningkatkan perkembangan sel Th2. Terhirupnya tungau dapat menyebabkan adanya influks sel Th2 ke paru-paru. Paparan tungau rumah secara berulang, dapat diberikan sodium cromoglycate yang berperan sebagai penstabil dari sel mast yang dapat menekan produksi mediator dan menurunkan respon inflamasi jika adanya paparan selanjutnya.
![]() |
Gambar: Peran sel mast dalam menanggapi patogen asing |
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, sel mast memainkan peran penting dalam imunitas bawaan dan adaptif terutama dalam menghasilkan berbagai mediator proinflamasi dan imunomodulator. Saat setelah aktivasi, sel mast mempromosikan migrasi sel penyaji yang terpapar antigen ke limfonodi regional sehingga dapat meningkatkan respon sel T. Dalam asma alergi, sel mast menginisiasi inflamasi pada saluran respirasi dan AHR pada model murine. Hal ini menunjukkan bahwa sel mast tidak hanya sel efektor belaka selama reaksi alergi, tetapi juga memiliki peran yang kompleks dalam induksi dan pengaturan respon imun adaptif.
Kontributor:
Naufal dan Endah
0 Komentar