Pendahuluan
Gastrointestinal merupakan organ pencernaan dimulai dari mulut, esophagus, gaster, intestinal tenue, colon, rektum, dan anus (Sherwood, 2012). Gastrointestinal sendiri juga berkaitan dengan beberapa organ-organ tambahan seperti hepar, kandung empedu, dan pankreas. Motilitas gastrointestinal dapat diartikan gerakan mendorong makanan yang masuk di dalam tubuh kita sepanjang traktus gastrointestinal (Fox S., 2011).
Gambar: Traktus gastrointestinal (Tortora dan Derrickson, 2017), |
Secara umum, struktur histologis dari gastrointestinal terdapat beberapa lapisan yaitu, tunika mukosa yang terdiri dari epitel yang secara umum yaitu epitel kolumner simpleks, lamina propia yang berisikan vasa-vasa, dan yang membedakan dengan struktur organ lain adalah adanya muskularis mukosa yaitu, lapisan otot selapis yang memisahkan antara tunika mukosa dan tunika submukosa. Di bagian luar dari tunika mukosa terdapat tunika submukosa yang berisikan jaringan ikat padat dan ada struktur dari saraf otonom yaitu plexus meissner dilanjutkan dengan tunika muskularis yang terdiri dari dua jenis tatanan otot yaitu otot longitudina yang berada diluar dari otot sirkular diantara kedua lapisan otot tersebut ada pleksus Auerbach yaitu serabut-serabut saraf dari saraf mienterikus. Lapisan palng luar yaitu tunika serosa atau adventisia, organ yang memiliki tunika adventisia merupakan organ yang tidak terkena dengan lapisan peritonium, seperti esofagus. Tunika serosa memiliki lapisan epitel squamos simpleks atau sering disebut dengan mesotelium, sedangkan pada tunika adventisia tidak ditemukannya struktur mesotelium (Sherwood, 2012).
Gambar: Lapisan-lapisan traktus gastrointestinal (Tortora dan Derrickson, 2017). |
Motilitas dari gastrointestinal secara umum, terdapat dua pergerakan utama yaitu, gerakan propulsif atau peristaltik dan gerakan untuk mengaduk-ngaduk makanan terutamanya di gaster, intestenum tenue, dan colon (Hall & Guyton, 2011). Gerakan dari gastrointestinal tersebut didukung oleh struktur histologisnya yaitu, adanya sel-sel otot. Secara struktur histologis, adanya pleksus meisnerr dan pleksus auerbach menunjukan bahwa motilitas dari gastrointestinal diatur oleh saraf lokal mienterikus dan saraf otonom (Hall & Guyton, 2011). Saraf otonom yang berperan adalah saraf simpatis yang dan parasimpatis, kembali pada prinsip saraf simpatis dengan, “fight or flight” yang akan menghambat motilitas gastointestinal, dan saraf parasimpatis dengan, “rest and digest” yang akan meningkatkan proses motilitas gastrointestinal (Silverthrone, 2013). Selain itu, motilitas gastrointestinal juga dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti gastrin, ghrelin, motilin, dan kandungan makanan yang masuk dalam tubuh kita (Kitazawa and Kaiya, 2019). Pada dasarnya, motilitas gastrointestinal akan mempengaruhi banyak hal terutamanya penyerapan, dan sekresi yang akan mempengaruhi bentuk dari feses, serta interval waktu dari proses defekasi.
Isi
Motilitas dari gastointestinal sangat mempengaruhi proses-proses yang ada didalam traktus gastrointestinal yaitu, pemecahan makanan, absorbsi, dan sekresi. Proses motilitas dari setiap organ yang berperan mempunyai proses yang berbeda-beda, hal tersebut akan dijelaskan dibawah ini secara detail.
1. Cavum Oris (Mulut)
Cavum oris mempunyai banyak struktur yang berkaitan dengan proses motilitas gastrointestinal seperti, lingua beserta otot-otot instrisik maupun ekstrinsik, palatum durum, palatum molle, otot-otot pengunyahan serta bermacam-macam jenis gigi. Struktur-struktur tersebut memungkinka terjadinya proses mastikasi atau pengunyahan dalam mulut. Struktur gigi yang terdiri dari gigi insiviva, caninus, premolar, dan molar mempunyai spesifitas sendiri-sendiri. Gigi insiva mempunyai struktur yang tajam yang berguna untuk merobek-robek makanan supaya dapat dicerna. Gigi premolar dan molar yang mempunyai permukaan yang luas mendukung fungsinya sebagai pengunyah makanan supaya memiliki luas permukaan yang luas. Saat kita memakan makanan yang mengandung selulosa seperti sayuran atau buah-buahan yang di dalamnya ada banyak nutriennya harus memperhatikan proses mastikasi, karena proses pemecahan pembungkus seluosa hanya bisa terproses di cavum oris. Makanan yang telah bercampur dengan enzim-enzim di mulut menjadi bolus (Hall & Guyton, 2011).
Setelah pengunyahan terjadi proses penelanan bolus yang melibatkan banyak struktur. Menelan mempunyai tiga tahapan yaitu, tahap volunter, tahap involunter, dan tahap esophageal (Hall & Guyton, 2011). Pada tahap volunter atau tahap kita sadar, ujung lidah kita berusaha untuk meyentuh struktur palatum durum guna mencegah makanan keluar dari mulut. Tahap kedua yaitu, tahap involunter. Tahap involunter dimulai saat makanan mencapai posterior cavum oris, dimana terjadi refleks dari palatum mole untuk menghalangi jalan menuju hidung supaya makanan tidak ada yang memasuki hidung dan epliglotis menutup, supaya tidak ada makanan yang masuk menuju ke saluran pernafasan (Sherwood, 2012). Tahap involunter diakhiri dengan masuknya bolus menuju ke esophagus (Hall & Guyton, 2011). Tahap selanjutnya, yaitu tahap esophageal yang akan dijelaskan di bawah ini.
2. Esophagus
Bolus yang masuk ke esophagus akan berjalan menuju gaster (lambung) dengan dua gerakan yang ada di esophagus, yaitu gerakan peristaltik primer dan sekunder. Peristaltik primer adalah gerakan secara involunter ketika bolus datang, gerakan ini mendorong bolus hingga sampai ke lambung. Peristaltik sekunder yaitu gerakan yang ada dikarenakan ukuran bolus terlalu besar dan gerakan oeristaltik primer tidak dapat mengkompensasinya Kedua gerakan tersebut mendorong bolus hingga otot pembatas esophagus dan lambung yaitu, lower eshophageal sfingter atau sfingter gastroesophageal (Hall & Guyton, 2011).
Bolus yang telah melewati sfingter gastroesophageal akan masuk menuju ke gaster atau lambung. Lambung mempunyai beberapa gerakan yaitu, mengocok, mendorong, dan retropulsi (Hall & Guyton, 2011). Bolus yang datang akan bersentuhan dengan epitel dinding gaster yang akan merangsang gaster mengeluarkan enzim-enzimnya dan meningkatkan motilitas dari gaster itu sendiri. Gaster mempunyai banyak enzim yang akan membuat bolus yang keluar akan menjadi kimus. Proses pengubahan bolus menjadi kimus terdapat peran dari otot-otot dari lambung yaitu, otot transversal, sirkular, dan oblique. Bolus yang masuk akan dicerna oleh enzim-enzim melalui gerakan propulsif (maju), dan mengocok supaya semua bagian dari bolus tercerna. Bolus yang belum sepenuhnya menjadi kimus tidak dibiarkan keluar dari gaster dikarenakan adanya sfingter pylorus yang secara normal selalu tertutup dengan bukaan tiga mm (Tortora dan Derrickson, 2017). Bolus yang belum tercerna semua akan terkena gerakan retropulsi yang akan membuat bolus kembali ke bagian corpus gaster dan diolahe kembali. Bolus yang telah menjadi kimus akan berjalan menuju intestenum tenue (Hall & Guyton, 2011).
3. Intestenum tenue (Usus halus)
Intestenum tenue mempunyai tiga bagian yaitu, duedonum, jejenum, dan illeum. Mereka sulit dibedakan tetapi, tetapi gerakan motiitasnya sama. Gerakan motilitas pada intestenum tenue ada tiga yaitu, gerakan propulsif, gerakan Migrating Motor Complex (MMC), dan gerakan segmentasi. Gerakan propulsif yaitu gerakan yang mendorong kedepan dengan kecepatan netto satu cm/ menit yang membuat kimus sampai ke katup iliosekal tiga hingga lima jam (Hall & Guyton, 2011; Barrett & Ganong, 2012). Gerakan segmentasi adalah gerakan memotong-motong kimus dengan rentang delapan hingga sembilan kali permenit (Hall & Guyton, 2011). sedangkan gerakan MMC adalah gerakan yang bertujuan untuk mengosongkan isi dari intestenum tenue menuju ke kolon bagian seakum (Barrett & Ganong, 2012).
4. Kolon (Usus Besar)
Kolon mempunyai dua jenis gerakan yaitu, gerakan haustrasi dan propulsif. Gerakan haustrasi yaitu gerakan mengocok-ngocok makanan yang didukung oleh struktur haustracoli yang ada (Guyton, A.C. Hall, 2014). Hal ini mempunyai tujuan supaya kimus yang ada secara maksimal tereabsorbsi (Fox S., 2011). Gerakan propulsif membuat kimus-kimus yang tereabsorbsi air dan elektrolitnya akan bergerak menuju ke rektum yang lalu dilanjutkan menuju ke anus dan terjadinya refleks dari defekasi (Barrett & Ganong, 2012).
Hal yang Mengatur Motilitas
Motilitas dari gerakan peristaltik diatur oleh saraf mienterikus, saraf otonom, dan hormon yang ada di tubuh kita. Motilitas didukung oleh struktur yang ada di lapisan dinding lumen sepanjang traktus gastrointestinal. Otot polos yang mempunyai panjang 200 hingga 500 grn dan lebar lumen dua hingga sepuluh dan terdapat berkas-berkas otot tersusun sebanyak 1.000 paralel. Serat-serat otot polos ini dihubungkan dengan gap junction yang akan membuat siyal listrik dapat menyebar dan terjadi kontraksi yang luas (Hall & Guyton, 2011). Secara struktural otot polos pada gastrointestinal memiliki dua layer yaitu, otot sirkular dan otot longitudinal. Otot sirkular berada di dekat dengan lumen yang dapat dibagi menjadi dua lamella, lamella bagian dalam dan luar. Lamella bagian luar mendapat inervasi sebagian besar berasal dari pleksus submucosal berbeda dengan lamella bagian luar yang mendapat persarafan yang sebagian besar berasal dair pleksus myentericus. Keduanya memiliki fungsi untuk kontraksi anular. Otot yang kedua yaitu, otot longitudinal yang berjalan secara longitudinal kecuali, pada colon yang terdapat struktur tambahan yaitu taenia coli yang merupakan kumpulan otot polos yang akan membantu gerakan propulsif (Leung, 2014).
Semua struktur otot yang ada di traktus gastrointestinal bersifat otonom dan ada yang yang diatur nervus mienterikus oleh pacemaker instrinsik yaitu adanya sel Cajal yang berkerja seperti pacemaker di organ jantung (Fox S., 2011; Sanders et al., 2012; Leung, 2014). Sel Cajal berada di lapisan antara tunika submukosa dengan tunika muscularis di bagian colon (Fox S., 2011; Barrett & Ganong, 2012). Sedangkan di bagian lambung dan intestenum tenue berada di tengah-tengah lapisan otot sirkular (Al-shboul, 2013; Leung, 2014). Sel Cajal mengatur seluruh motilitas gastrointestinal kecuali yang berada di esophagus dan bagian atas dari lambung (Leung, 2014; Barrett & Ganong, 2012). Sel-sel Cajal ini bekerja dengan gelombang listrik yang lambat. Gelombang lambat dihasilkan dari perubahan potensial membran istirahat yang lambat dan bergelombang yang membuat gerakan motilitas dari traktus gastrointestinal berirama yang menyebabkan adanya basic electrical rhythm (BER) (Leung, 2014). Gelombang lambat ini diciptakan dengan frekuensi tiga hingga 12 kali per menit, yang tiap organ mempunyai waktunya sendiri-sendiri. Gelombang lambat pada lambung terjadi tiga kali per menit, 12 kali pada duodonum, dan 8 hingga 9 kali pada ileum terminalis (Hall & Guyton, 2011). Sel-sel ini tidak menyebabkan kontraksi otot tetapi mengawali adanya spike potential (Barrett & Ganong, 2012). Sel Cajal juga mempengaruhi neuron eksitasi dan neuron inhibitori tetapi hal tersebut belum terlalu diketahui (Klein et al., 2013).
![]() |
Gambar: Hal-hal yang mempengaruhi motilitas gastrointertinal (Leung, 2013). |
BER memiliki membran potensial -60 mV hingga -45 mV (Barrett & Ganong, 2012). Potensial gelombang lambat yang diinisiasi oleh sel Cajal akan membuat potensial paku atau spike potential yang akan menimbulkan kontraksi yang sebenarnya. Potensial paku terjadi ketika gelombang lambat mencapai pada angka -40 mV, semakin positif angka yang ditimbulkan oleh gelombang pendek akan semakin banyak postensial paku tercipta (Hall & Guyton, 2011).
Sel Cajal seiring usia bertambah mengalami penurunan yang akan mengakibatkan penurunan dari fungsi motilitas gastrointestinal. Pada umur 29 tahun di satu lapang pandang, sel Cajal berjumlah 6.8 ± 0.7 , sedangkan pada orang yang berumur 70 tahun 2.97 ± 0.4. Hal tersebut menunjukkan adanya pengurangan sekitar 12,9% sel Cajal setiap sepuluh tahun setelah berumur 25 tahun (P = 0.0005) (Gomez-Pinilla et al., 2011).
![]() |
Gambar: Mekanisme kerja dai gelombang pendek yang menciptakan BER (Leung, 2013). |
![]() |
Gambar: Perbedaan jumlah sel cajal pada umur 36 tahun dan 82 tahun (Gomez-Pinilla et al., 2011) |
Selain dari persarafan enterik, motilitas gastrointestinal juga dipengaruhi oleh persarafan otonom yaitu, simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis akan meningkatkan nmotilitas, dan meningkatkan sekresi kelenjar. Parasimpatis esophagus hingga intestenum tenue berasal dari nervus vagus atau nervus cranialis sepuluh, sedangkan dari colon berasal dari plexus sacrales, sacral dua hingga empat yang menjadi nervus splanicus pelvici. Saraf simpatis berasal dari vetebra thoracalis 6 hingga 9 untuk esophagus hingga intestenum tenue, yang dilanjutkan coln berasal dari vetreabra lumbalis 4 hingga 5 yang menyebabkan penurunan respon motilitas dan sekresi (Browning and Travagli, 2014).
Kesimpulan
- Motilitas gatrointestinal adalah gerakan sepanjang traktus gastrointestinal.
- Motilitas gastrointestinal bermacam-macam di tiap komponen organ traktus gastrointestinal dengan gerakan dasar yaitu propulsi atau mendorong dan mengacak.
- Motilitas gastrointestinal diatur oleh saraf enterik dengan adanya sel Cajal yang dipengaruhi banyak hal.
- Motilitas gastrointestinal juga diatur oleh saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan saraf parasimpatis.
Referensi
Al-shboul, O. A. (2013) ‘The
Importance of Interstitial Cells of Cajal in the Gastrointestinal Tract’, The Saudi Journal of Gastroenterology, 19(1), pp. 3–16. doi: 10.4103/1319-3767.105909.
Barrett, K. E., & Ganong,
W. F. (2012). Ganong's review of medical physiology. New York:
McGraw-Hill Medical.
Browning, K. N. and Travagli,
R. A. (2014) ‘Central Nervous System Control of Gastrointestinal Motility and
Secretion and Modulation of Gastrointestinal Functions’, Comprehensive Physiology, 4(October), pp. 1339–1368.
doi: 10.1002/cphy.c130055.
Fox S. (2011) Fox Human
Physiology 8th Edition. 8th edn. New York: McGraw-Hill Education.
Gomez-Pinilla, P. J. et al.
(2011) ‘Changes in interstitial cells of cajal with age in the human stomach
and colon’, Neurogastroenterology and Motility, 23(1), pp. 36–44. doi:
10.1111/j.1365-2982.2010.01590.x.
Hall, J. E., & Guyton, A.
C. (2011). Guyton and Hall textbook of medical physiology. Philadelphia: Elsevier
Saunders
Kitazawa, T. and Kaiya, H.
(2019) ‘Regulation of gastrointestinal motility by motilin and ghrelin in
vertebrates’, Frontiers in Endocrinology, 10(MAY), pp. 1–17. doi:
10.3389/fendo.2019.00278.
Klein, S. et al. (2013)
‘Interstitial cells of Cajal integrate excitatory and inhibitory
neurotransmission with intestinal slow-wave activity’, Nature Communications,
4. doi: 10.1038/ncomms2626.
Leung, P. S. (2014) ‘The
gastrointestinal system: Gastrointestinal, nutritional and hepatobiliary
physiology’, Springer, pp. 1–364. doi: 10.1007/978-94-017-8771-0.
Sanders, K. M. et al.
(2012) ‘Regulation of gastrointestinal motility-insights from smooth muscle
biology’, Nature Reviews Gastroenterology and Hepatology. Nature
Publishing Group, 9(11), pp. 633–645. doi: 10.1038/nrgastro.2012.168.
Sherwood, L. (2012) Fisiologi
Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Silverthorn, D. U., Johnson, B. R., Ober, W. C., Garrison, C. W., & Silverthorn, A. C. (2013). Human physiology: An integrated approach. Boston: Pearson Education.
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2017). Principles of Anatomy and Physiology. New
York: Wiley.
Kontributor:
Naufal dan Endah
0 Komentar