Obesitas - Etiologi sampai Terapi

Etimologi

Obesitas berasal dari bahasa Latin, yang berarti "gemuk, gendut, atau montok." Ēsus adalah past participle dari edere (makan), dengan ob (berlebihan) ditambahkan padanya.


Definisi

Menurut WHO (2000) dan dinukil oleh Kemenkes (2017): obesitas merupakan
penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidak seimbangan asupan energi (intake) dan energi yang digunakan (expenditure) dalam waktu lama (WHO, 2000; Kemenkes RI, 2017).


Klasifikasi

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah indeks sederhana dari berat badan terhadap tinggi badan yang digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa. Indeks Massa Tubuh (IMT) didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kg dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2).

BMI (WHO 2000)
Classification
< 18.5
underweight
18.5–24.9
normal weight
25.0–29.9
overweight
30.0–34.9
class I obesity
35.0–39.9
class II obesity
≥ 40.0
class III obesity

Beberapa lembaga membuat modifikasi dari definisi WHO tersebut. Literatur Bedah membagi obesitas "kelas III" menjadi beberapa kategori, yang angkanya masih menjadi perdebatan.
  • IMT ≥ 35 atau 40 disebut obesitas berat
  • IMT ≥ 35 atau 40–44.9 atau 49.9 disebut obesitas morbid
  • IMT ≥ 45 atau 50 disebut obesitas super/super obese
Orang Asia memiliki nilai IMT yang lebih rendah dibandingkan populasi Kaukasia, beberapa negara membuat definisi ulang kegemukan; di Jepang mendefinisikan obesitas nilai IMT ≥ 25 sedangkan China menggunakan nilai IMT ≥ 28.



IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan merupakan satu-satunya indikator untuk mengukur obesitas. Selain IMT, metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar perut/ lingkar pinggang. International Diabetes Federation (IDF) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar perut berdasarkan etnis (WHO, 2000; Kemenkes RI, 2017).


Etiologi

Faktor Genetik

  • Pewarisan: Bila salah satu orang tuanya obesitas maka peluang anak-anak menjadi obesitas sebesar 40-50% dan bila kedua orang tuanya menderita obesitas maka peluang keturunan menjadi 70-80%.
  • POMC dan MC4Proopiomelanocortin (POMC) mengeluarkan α-MSH dan CART yang bekerja secara terpusat pada reseptor melanocortin 4 (MC4) untuk mengurangi asupan makanan. Defek genetik dalam produksi POMC dan mutasi pada gen MC4 adalah penyebab obesitas monogenik pada manusia. Pasien dengan mutasi POMC cenderung memiliki rambut merah karena defisiensi produksi MSH dan berkurangnya kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH). Data menunjukkan bahwa 5% anak-anak yang obesitas mengalami mutasi MC4 atau POMC . Lokasi mutasinya pada pita 2p23 untuk POMC dan pita 18q21,3 untuk MC4.
  • Defisiensi leptin: Defisiensi leptin kongenital disebabkan oleh mutasi pada pita 7q31. Gangguan ini resesif autosom. Manifestasinya yaitu obesitas dan hiperfagia yang disertai dengan disfungsi metabolisme, neuroendokrin, dan kekebalan tubuh.

Faktor Lingkungan 

  • Pola makan: Jumlah asupan energi yang berlebih menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas. Jenis makanan dengan kepadatan energi tinggi (tinggi lemak, gula, dan kurang serat) menyebabkan ketidak seimbangan energi.
  • Pola aktivitas fisik: Pola aktivitas fisik sedentary (kurang gerak) menyebabkan energi yang dikeluarkan tidak maksimal sehingga meningkatkan risiko obesitas.

Faktor Obat-obatan dan Hormonal

  • Obat-obatan: obat jenis steroid yang sering digunakan dalam jangka waktu yang lama untuk terapi asma, osteoartritis, dan alergi dapat menyebabkan nafsu makan meningkat sehingga meningkatkan risiko obesitas.
  • Hormonal: Hormon yang berperan dalam obesitas yaitu hormon leptin, ghrelin, tiroid, insulin, dan estrogen (Hamdy, 2020).


Fisiologi 

Pengaturan Tubuh dalam Mengatur Pola Makan 

Kestabilan berat badan dan komposisinya selama waktu yang lama membutuhkan keseimbangan masukan energi dan pengeluarannya. 

  • Bila seseorang makan berlebihan dan pemasukan energi melebihi dan pengeluarannya maka kebanyakan energi berlebih tersebut akan disimpan sebagai lemak sehingga berat badan akan-meningkat. 
  • Sebaliknya, kehilangan massa tubuh dan kelaparan terjadi bila masukan energi tidak menutupi untuk memenuhi kebutuhan dan metabolisme tubuh.

Sensasi rasa lapar disebabkan oleh keinginan akan makanan dan beberapa pengaruh fisiologis lainnya, seperti kontraksi ritmis lambung dan kegelisahan, yang menyebabkan seseorang mencari suplai makanan yang adekuat. 

Nafsu makan adalah keinginan untuk mendapatkan makanan, sering kali untuk jenis makanan tertentu dan berguna untuk membantu memilih kualitas makanan yang akan dimakan. Jika proses pencarian makanan berhasil, rasa kenyang akan timbul. Setiap sensasi tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya, serta oleh pengaturan fisiologis yang memengaruhi pusat-pusat spesifik diotak, terutama hipotalamus.

Beberapa pusat saraf di hipotalamus ikut serta dalam pengaturan asupan makanan:

  1. Nukleus lateral hipotalamus berfungsi sebagai pusat makan, dan perangsangan area ini menyebabkan seekor hewan makan dengan rakus. Sebaliknya, pengrusakan hipotalamus lateral menyebabkan hilangnya nafsu makan, pengurusan dan pelemahan tubuh yang progresif.
  2. Nukleus ventromedial hipotalamus berperan sebagai pusat kenyang. Pusat ini dipercaya memberikan suatu sensasi kepuasan makanan yang menghambat pusat makan. Rangsangan listrik di daerah ini dapat menimbulkan rasa kenyang yang penuh, dan bahkan dengan adanya makanan yang sangat menggiurkan, binatang menolak untuk makan (afasia). Sebaliknya, destruksi nukleus ventromedial menyebabkan hewan makan dengan rakus dan terus menerus sampai hewan tersebut menjadi sangat gemuk, kadang-kadang sebesar empat kali normal.
  3. Nukleus paraventrikular, dorsomedial dan arkuata di hipotalamus juga berperan penting dalam pengaturan. Salah satunya adalah nukleus arkuata merupakan bagian hipotalamus tempat berbagai hormon yang dilepaskan dari saluran pencernaan dan jaringan adiposa berkumpul untuk mengatur asupan rnakanan dan pengeluaran energi.

Hipotalamus menerima sinyal saraf dari saluran pencemaan yang memberikan informasi sensorik mengenai isi lambung, sinyal kimia dari zat nutrisi dalam darah (glukosa, asam amino, dan asam lemak) yang menandakan rasa kenyang, sinyal dari hormon gastrointestinal, sinyal dari hormon yang diiepaskan oleh jaringan lemak, dansinyal dari korteks serebri (penglihatan, penciuman, dan pengecapan) yang memengaruhi perilaku makan.  Pusat makan dan kenyang di hipotalamus memiliki kepadatan reseptor yang tinggi untuk neurotransmiter dan hormon yang memengaruhi perilaku makan. Sebagian dari banyak zat yang mampu mengubah perilaku nafsu makan dan rasa lapar pada beberapa percobaan dicantumkan pada gambar dan secara garis besar dibagi atas (l) zat oreksigenik yangmenstimulasi rasa lapar, atau (2) zat anoreksigenik yang menghambat rasa lapar.


Hormon Ghrelin

Ghrelin adalah hormon peptida yang terdiri dari 28 asam amino yang dibentuk dari prekusornya  94 asam amino rantai panjang  (proghrelin). Ghrelin disebut juga hormon orexigenic karena berperan dalam meningkatkan selera makan. Ghrelin memiliki fungsi lain yaitu sebagai mediator dalam respon stress dam memiliki efek anti penuaan (Gandhi and Swaminathan, 2017). Ghrelin diproduksi oleh sel X/A dari glandula oxintik yang berada di lapisan mukosa fundus dari lambung. Selain itu, ghrelin juga dapat diproduksi di otak, plasenta, gonad, korteks adrenal,  paru-paru dan pulau pankreas (Lely et al., 2004).

Regulasi tubuh dalam memantau pemasukan atau pengeluaran energi adalah melalui status kenyang atau lapar. Hal ini dapat terjadi karena tidak terdapat reseptor kalori yang mengontrol pemasukan energi atau pengeluarannya. Meskipun begitu, tubuh dapat mengontrol pemasukan atau pengeluaran energi melalui faktor kimiawi yang berupa jumlah lemak yang disimpan, status kenyang atau lapar, dan nutrien yang bersirkulasi (Sherwood, 2013)

Pengaturan pusat makan dan kenyang diatur oleh nukleus yang berada di hipotalamus. Nukleus tersebut terdiri dari nukleus  lateral hipotalamus, nukleus ventromedial hipotalamus, dan nukleus arkuatus hipotalamus. Nukleus lateral hipotalamus sebagai pusat makan dan  nukleus ventromedial hipotalamus sebagai pusat kenyang  (Guyton, 2016). Kedua nukleus tersebut juga dibantu oleh nukleus arkuatus yang berperan sentral dalam mengontrol keseimbangan energi jangka panjang  dan asupan makanan sehari-hari (Sherwood, 2013). Pusat kenyang  juga dapat ditemukan di nukleus traktus solitarius (NTS) yang berada dibatang otak dan juga menerima sinyal tentang derajat distensi lambung (Guyton, 2016)

Hormon ghrelin yang disekresikan oleh sel X/A di mukosa lambung mengaktifkan  neuron agouti related protein (AGRP) dan neuropeptida (NPY) di nukleus arkuatus. Pengaktifan neuron di nukleus arkuatus tesebut  juga dapat dirangsang karena simpanan energi tubuh yang rendah. AGRP dan NPY mengirimkan sinyal ke neuron paraventrikular untuk meningkatkan keinginan untuk makan dan mengurangi pengeluaran energi. Hal itu dapat terjadi karena mereka telah menghambat pengaruh a-melanocyte stimulating hormon (a-MSH) yang merangsang reseptor melanokortin (Guyton, 2016).


Hormon insulin, leptin dan kolesistokinin (CCK) merupakan hormon yang menghambat neuron AGRP-NPY karena mereka bekerja untuk menurunkan asupan makanan dan meningkatkan pemakaian energi. Penurunan asupan makanan dan peningkatan pengeluaran energi juga dipengaruhi oleh a-MSH yang dihasilkan neuron  pro-opiometanokortin (POMC) dan cocain and amphetamine-related transcript (CART). A-MSH yang dihasilkan akan diterima oleh beberapa reseptor melanocortin yaitu  MCR-3, dan MCR-4. Reseptor MCR-4 merupakan reseptor yang penting dan sering ditemukan obesitas ekstrem karena terjadi mutasi pada reseptor tersebut.

Hubungan Hormon Ghrelin dan Obesitas

Meskipun hormon ghrelin merupakan hormon yang meningkatkan nafsu makan, namun belum tentu kadarnya akan meningkat pada seseorang yang mengalami obesitas. Ghrelin yang bersirkulasi dalam plasma memiliki konsentrasi yang berbanding terbalik dengan indeks massa tubuh. Oleh karena itu, seseorang yang mengalami keadaan kehilangan nafsu makan (anoreksia) akan mengalami peningkatan sekresi ghrelin dan akan normal kembali ketika tubuh seseorang telah mencapai berat badan yang ideal. Meskipun demikian regulasi dan mekanisme mengenai hormon ghrelin yang menurun ketika obesitas belum diketahui (Leite Moreira and Soares, 2007).

Sekresi ghrelin yang menurun pada penderita obesitas juga dibuktikan dengan penelitian pada tingkat seluler.  Penelitian ini menggunakan 2 tikus yaitu  tikus perlakuan dan tikus kontrol. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil antara kedua tikus tersebut. Tikus kontrol yang diberi pakan normal memiliki 2 jenis sel penghasil ghrelin yaitu jenis terbuka dan tertutup. Hal ini berbeda dengan tikus perlakuan yang telah diberikan ransum pakan obesitas yang memiliki 1 jenis sel penghasil ghrelin dengan jenis terbuka (Teguh B. et al, 2016)

Gambar: Perbedaan sel penghasil ghrelin di fundus gaster  
Gambar tersebut menunjukkan bahwa ghrelin yang berkurang pada tikus yang mengalami  kondisi obesitas diawali dengan penurunan sel penghasilnya. Perbedaannya terletak pada sel penghasil ghrelin jenis terbuka dan  tertutup. Sel jenis terbuka berfungsi untuk menerima informasi dari lumen berupa ph atau nutrisi. Sedangakan sel jenis tertutup dipengaruhi oleh rangsang, hormon dan distensi mekanis. Apabila salah satu dari sel tersebut tidak ada maka hormon ghrelin yang disekresikan juga berkurang (Teguh B. et al, 2016).
Produksi ghrelin yang berkurang mungkin karena sekresi insulin yang meningkat karena tubuh berusaha menyeimbangkan energi positif pada keadaan obesitas. Hal ini sejalan dengan menurunnya sekresi ghrelin karena pemberian glukosa baik secara intravena maupun melalui mulut. Namun hal  itu masih belum jelas dalam proses penghambatannya apakah sevara langsung atau tidak (Saad et al., 2002).

Pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa seseorang yang mengalami obesitas  kadar ghrelin dalam plasmanya berkurang. Selain itu, pada keadaan obesitas nukleus AGRP dan NPY yang berada di ventrikel ketiga menjadi resisiten atau tidak dapat diinduksi  terhadap ghrelin yang beredar dalam plasma. Hal ini disebabkan karena hipotalamus dapat merasakan keseimbangan energi positif atau asupan kalori yang berlebihan. Selain itu, penjelasan lain juga menyebutkan bahwa respon tersebut juga bertujuan agar membatasi asupan makann lebih lanjut. Resistensi ghrelin yang terjadi di ventrikel ketiga juga dapat menyebabkan dampak kesehatan lain yang berefek pada tubuh penderita. Hal ini dikarenakan ghrelin dapat kehilangan fungsinya sebagai pengatu suasana hati, fungsi kognitif dan pelindung terhadap penyakit neurodegenaratif (Briggs et al., 2010)

Patofisiologi

Disregulasi Metabolisme Lipid dan Glukosa: Lipotoksisitas dan Resistansi Insulin pada Obesitas

Kelimpahan lemak yang disimpan diperlukan untuk bertahan hidup selama keadaan lapar. Namun, pada saat makanan berlebih berkepanjangan, penyimpanan lemak yang efisien menjadi berlebihan dan menyebabkan obesitas. 

Penyimpanan asam lemak sebagai triasilgliserol dalam adiposit melindungi terhadap toksisitas asam lemak agar tidak bersirkulasi dengan bebas di pembuluh darah dan menghasilkan stres oksidatif ke seluruh tubuh. 

Namun, penyimpanan berlebihan menyebabkan pelepasan asam lemak berlebihan dari akibat lipolisis, dirangsang oleh keadaan simpatik pada obesitas. Pelepasan asam lemak bebas berlebihan ini kemudian memicu lipotoksisitas, karena lipid dan metabolitnya menciptakan tekanan oksidan pada retikulum endoplasma dan mitokondria. Lalu mempengaruhi jaringan adiposa dan nonadiposa yang menyebabkan patofisiologinya di banyak organ, seperti hati dan pankreas, dan dalam sindrom metabolik. 

Asam lemak bebas yang dilepaskan dari deposit triasilgliserol yang disimpan berlebihan juga menghambat lipogenesis sehingga mencegah klirens yang adekuat dan menghasilkan hipertrigliseridemia. 

Pelepasan asam lemak bebas oleh lipase lipoprotein endotel dari peningkatan trigliserida serum dalam β lipoprotein yang meningkat menyebabkan lipotoksisitas yang menyebabkan disfungsi reseptor insulin. Keadaan yang resistan terhadap insulin menciptakan hiperglikemia. 

Asam lemak bebas juga menurunkan pemanfaatan glukosa otot yang distimulasi insulin, sehingga menyebabkan hiperglikemia. Lipotoksisitas dari asam lemak bebas berlebihan juga mengurangi sekresi insulin sel-β pankreas, yang akhirnya mengakibatkan kelelahan sel β.


Peran Spesifik dari Bahan Sekresi Inflamasi Adiposit (Adipocytokines), Termasuk Efek Hipertensi, Makrofag, dan Fungsi Kekebalan Tubuh

Lokasi dan Fungsi Adiposit
Adiposit juga merupakan jaringan endokrin terbesar yang terus-menerus berkomunikasi dengan jaringan lain oleh bahan yang dilepaskan adiposit seperti proteohormon lektin, adiponektin, dan visfatin. Bersamaan dengan insulin, proteohormon ini membantu mengatur massa lemak tubuh. 

Sitokin berkontribusi terhadap adipokin adiposit termasuk, growth factor dan protein komplemen. Termasuk tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1, dan IL-6 yang menyebabkan steatonekrosis (retensi abnormal lemak) lokal. 

Kandungan lemak yang meningkat pada otot menjadi signifikan pada obesitas berat sehingga pencitraan resonansi magnetik seluruh tubuh mengungkapkan jumlah depot lemak di otot ukurannya serupa dengan jaringan adiposa viseral total. 

Adipokin viseral diangkut oleh sistem vaskular portal ke hati, meningkatkan steatohepatitis nonalkohol (NASH), dan juga oleh sirkulasi sistemik ke berbagai situs lain. Seiring dengan lipotoksisitas asam lemak, adipokin visceral juga berkontribusi terhadap cedera inflamasi adipokin yang menyebabkan disfungsi sel β pankreas yang menurunkan sintesis dan sekresi insulin.

Peran Adipokin Khusus
Dislipidemia, hipertensi, dan aterogenesis dipengaruhi sekresi beragam adipokin inflamasi, terutama dari jaringan adiposa putih (White Adipose Tissue [WAT]) di depot lemak visceral. Adipokin spesifik meningkatkan tonus vasomotor endotel dengan mengeluarkan renin, angiotensinogen, dan angiotensin II, yang mirip dengan yang ada dalam sistem renin-angiotensin (RAS) ginjal, tetapi ketika dikeluarkan dari adiposit, meningkatkan risiko hipertensi pada pasien obesitas. 

Sekresi TNF-α meningkat sebanding dengan peningkatan massa lemak tubuh total dan meningkatkan peradangan pada hati yang berlemak dan depot lemak di pankreas, mesenterium, dan usus. Penanda peradangan yang meningkat pada obesitas biasanya berkontribusi pada kondisi peradangan seperti NASH dan pada bronkial apnea tidur obstruktif. Penanda ini tidak hanya mencakup TNF-α dan IL-6, tetapi juga reaktan fase akut seperti protein C-reaktif, asam lycoprotein α1, dan antigen amiloid spesifik di hati yang berlemak. 

Reaktan fase akut adalah penanda inflamasi penting yang juga diregulasi dalam keadaan resistan terhadap insulin yang terkait dengan diabetes melitus tipe 2 dan NASH. Adiposit juga merangsang makrofag terkait lemak yang mensekresi monocyte chemoattractant protein (MCP-1), macrophage migration inhibiting factor (MMIF), dan resistin yang semuanya menurunkan sensitivitas insulin. Makrofag ini meningkatkan inflamasi dengan meningkatkan protein kinase yang diaktifkan mitogen (C-Jun N-terminal Kinase, inhibitor NF-KB Kinase b, dan fosfatidylinositol 3-Kinase) sehingga menginduksi faktor transkripsi NF-KB yang memungkinkan defosforilasi protein docking IRS-1 dan -2. Lalu terakhir menghambat transporter glukosa GLUT4, menghasilkan resistensi insulin.


Keadaan proinflamasi progresif akibat obesitas juga berperan dalam atherogenesis mulai dari lapisan lemak endotelial hingga pembentukan plak, ruptur, dan trombosis. Modulator endotel (faktor pertumbuhan endotel vasoaktif, penghambat aktivator plasminogen-1, angiotensinogen, renin, dan angiotensin II) disekresikan oleh WAT perivaskular yang berkontribusi pada disfungsi vasomotor, menyebabkan hipertensi, dan cedera endotel. Proses ini diikuti oleh pembentukan sel-sel busa mengikuti peningkatan penyerapan endotel dari LDL teroksidasi, asam lemak bebas, dan metabolit lipid lain yang terakumulasi sebagai akibat peroksidasi asam lemak yang semuanya berasal dari dislipidemia β-lipoprotein. 

Aktivitas lipoprotein lipase baik sel endotel maupun sel adiposa juga menurun oleh sitokin inflamasi seperti IL-6, sehingga dengan menghambat lipolisis mereka meningkatkan kadar serum triasilgliserol serum (hiper-trigliseridemia). Kemudian, ketika aterosklerosis berkembang dengan makrofag dan infiltrasi sel otot polos, ada sekresi tambahan dari sitokin lain seperti MCP-1, MMIF, dan endothelin-1 yang meningkatkan lesi inflamasi yang berkembang dari plak aterosklerotik di dalam dinding pembuluh darah. Prokoagulan adipokin lain misalnya plasminogen activator inhibitor-1 -1, IL-6, TGF-β, dan TNF-α yang menyebabkan trombosis dari plak aterosklerotik yang pecah. 

Adiposit juga mensekresi matrix metalloproteinase untuk perkembangan aterosklerosis dengan pembentukan plak dan remodelling hasil kolagen. Aktivitas ini menyebabkan penipisan cap ateroma dan ruptur plak yang memicu pelepasan faktor jaringan lalu meningkatkan trombosis intravaskular. 
Adipokin juga meningkatkan angiogenesis dan mempromosikan adipogenesis dengan peningkatan neovaskularisasi WAT. Fig. 2 menunjukkan efek mediator imun dan inflamasi pada komorbiditas obesitas, termasuk aterosklerosis (Redinger, 2007).

Stress dan Obesitas


Mekanisme patofisiologis yang menghubungkan obesitas dan depresi. Obesitas dikaitkan dengan perubahan substansial dalam jaringan dan mikrobiota usus, yang mendorong instaerasi keadaan inflamasi kronis tingkat rendah. Jika kadar glukokortikoid (kortisol) yang tinggi dalam keadaan depresi, mereka juga dapat berkontribusi terhadap obesitas dengan mempromosikan ekspansi jaringan adiposa (peningkatan jumlah dan ukuran adiposit) dan perubahan perilaku makan (konsumsi makanan yang lebih enak). Pola makan yang tidak sehat, kurang olahraga, dan stres juga dapat memodifikasi komposisi mikrobiota usus dan mengganggu komunikasi usus-otak, terutama melalui efek imun / inflamasi. Secara keseluruhan, perubahan ini dapat berkontribusi pada pengembangan komorbiditas depresi terkait obesitas (Gadde et al., 2018).

Pemeriksaan Fisik Obesitas

Parameter antropometrik dan pemeriksaan standar diperlukan dalam mengevaluasi pasien dengan obesitas. 
  • Lingkar pinggang dan pinggul digunakan dalam memperkirakan lemak visceral. Pelacakan serial (beberapa kali) pengukuran ini membantu dalam memperkirakan risiko klinis dari waktu ke waktu. 
  • Lingkar leher merupakan prediksi risiko apnea tidur, dan pengukuran serialnya pada masing-masing pasien bermanfaat secara klinis untuk stratifikasi risiko.
Pemeriksaan sistem organ harus meliputi:

  1. Cutaneous: Cari ruam intertriginosa dari gesekan kulit-ke-kulit; juga mencari hirsutisme pada wanita, acanthosis nigricans, dan skin tag, yang umum dengan resistensi insulin sekunder akibat obesitas
  2. Jantung dan pernapasa: Tidak termasuk kardiomegali dan insufisiensi pernapasan
  3. Perut: Berusaha untuk mengecualikan hepatomegali tender, yang mungkin menyarankan infiltrasi lemak hati atau NASH, dan membedakan striae distensae dari striae merah muda dan luas yang menunjukkan kelebihan kortisol
Saat memeriksa ekstremitas, cari deformitas sendi (misalnya, coxa vara), bukti osteoartritis, dan ulserasi tekanan apa pun. Distribusi lemak yang terlokalisir dan lipodistrofik juga harus diidentifikasi, karena hubungannya yang umum dengan resistensi insulin.

Tatalaksana Obesitas

Prinsip tatalaksana obesitas adalah dengan mengatur keseimbangan energi. Energi yang masuk harus lebih rendah dari yang dibutuhkan. 

Pengaturan Pola Makan

  • Menggunakan piring makan model T yaitu jumlah sayur 2 kali lipat dari bahan makanan sumber karbohidrat (nasi, mie, roti, pasta dan lain lain).
  • Jumlah makanan sumber protein setara dengan jumlah makanan sumber karbohidrat.
  • Buah minimal harus sama dengan jumlah karbohidrat atau protein. Pilihlah makanan yang disenangi namun tetap memperhatikan jumlah, jenis dan jadwal.
Atur pola makan dengan menggunakan piring makan model T sebagai berikut: 
Gambar: Piring Model T
  1. Konsumsi sayur dua kali lipat dari jumlah bahan makanan sumber karbohidrat (Sayur = 2 kali jumlah Karbohidrat). Asupan sayur dianjurkan sebesar 5-6 porsi sedangkan buah minimal 3 porsi per hari. Sayur dan buah berfungsi memelihara mikroflora usus, mencegah obesitas, diabetes melitus, hipertensi, kanker kolon. Bahkan, asupan secara benar dan sesuai maka buah dan sayur akan mencegah penyakit berat, appendicitis, diabetes, penyakit jantung koroner dan obesitas. Serat merupakan komponen penyusun diet manusia yang sangat penting. Dengan adanya serat, maka penyerapan karbohidrat, lemak dan protein menjadi berkurang. Jika hal ini dilakukan secara teratur dan berkesinambungan, maka kegemukan dapat dihindari. Serat mampu memberikan perasaan kenyang dalam waktu yang cukup lama. Sumber serat yang baik adalah sayuran, buah-buahan, serealia dan kacang-kacangan. Memakan sayuran dan buah-buahan dalam jumlah yang banyak, mempunyai fungsi ganda yaitu disamping sebagai sumber serat juga merupakan sumber vitamin dan mineral, yang semua itu sangat dibutuhkan untuk memelihara kesehatan tubuh manusia. Sayuran yang banyak mengandung serat adalah, bayam, kangkung, buncis, daun beluntas, daun singkong, kacang panjang, daun katuk, daun kelor, sawi, kecipir, kol dan lain-lain. Buah-buahan yang banyak mengandung tinggi serat adalah alpukat, belimbing, srikaya, cempedak, nangka, durian, jeruk, kedondong, kemang, mangga, nanas dan sebagainya. Serealia yang kaya serat adalah beras, jagung, jali dan jewawut. Beras giling mempunyai kadar serat dan vitamin (khususnya vitamin B1) lebih rendah dari beras tumbuk, karena itu memilih beras sebaiknya jangan yang terlalu bersih (putih). Kacang-kacangan yang banyak mengandung serat adalah kacang bogor, kacang merah, kacang ijo, kedele, serta kacang-kacangan lainnya. 
  2. Konsumsi bahan makanan sumber protein sama dengan jumlah bahan makanan sumber karbohidrat (P = KH). Konsumsi makanan sumber protein sejumlah bahan makanan bersumber karbohidrat. Tubuh mencerna protein lebih lambat dari lemak atau karbohidrat, sehingga akan terasa kenyang lebih lama. Protein juga dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Dalam proses thermogenesis tersebut tubuh menggunakan sekitar 10% dari asupan kalori untuk pencernaan. Protein berasal dari bahan makanan seperti daging, unggas, ikan, telur, produk susu, kedelai, kacang­kacangan dan biji-bijian. Dianjurkan untuk memilih bahan makanan sumber protein yang mengandung lemak rendah dan lemak sedang. 
  3. Konsumsi sayur dan atau buah minimal harus sama dengan jumlah karbohidat ditambah protein ( SB = KH + P). Konsumsi buah dan sayur minimal setara dengan jumlah protein dan karbohidrat yang dikonsumsi. Sayuran kaya akan air dan mengonsumsi sayuran dalam keadaan segar mampu membantu mengisi kebutuhan tubuh akan asupan cairan harian yang sering kali kurang dikonsumsi. Sebaiknya sayuran dikonsumsi dalam keadaan segar karena sayuran yang telah melewati proses pemanasan yang akan merusak cadangan air, enzim, nutrisi dan mineral yang terkandung didalamnya. Pada suhu 40 derajat sewaktu pemanasan enzim akan rusak. Sayuran adalah unsur makanan yang berguna sebagai pembentuk basa. Apabila di konsumsi secara benar sayuran akan mampu menetralkan pH dan menciptakan kondisi homeostatis. Homeostatis adalah kondisi ideal dalam tubuh saat seluruh fungsi berjalan dengan sempurna. Beberapa katalisator kondisi ini salah satunya yang populer adalah nilai pH (Potential Hydrogen). Kondisi homeostatis tubuh sehat tercapai pada saat nilai asam dan basa seimbang, yaitu pH netral. Kesehatan hakiki adalah saat tubuh mencapai nilai pH dikisaran Netral (7,0) angka tepatnya adalah 7,35- 7,45. Buah merupakan kelompok makanan penyumbang air, enzim, karbohidrat, serat, vitamin dan mineral. Konsumsi buah dengan benar akan memberikan sifat basa pada tubuh. Buah memiliki kandungan serat dan enzim cerna yg mampu membantu tubuh menghilangkan tumpukan makanan dari usus besar. 
  4. Minyak sebagai bahan makanan sumber lemak dapat digunakan untuk mengolah bahan makanan. Jumlah yang dianjurkan adalah 3-4 porsi atau setara dengan 3-4 sendok teh. Minyak ini digunakan untuk mengolah bahan makanan sumber protein dan kelompok sayur-sayuran pada piring makan model T dipagi hari, siang dan sore. Satu porsi lagi untuk mengolah bahan makanan sumber protein yang berada pada makanan selingan. Minyak dapat juga digantikan oleh margarain, mentega atau santan. Dianjurkan untuk memilih jenis lemak tak jenuh ganda maupun tunggal seperti minyak zaitun, kacang-kacangan, minyak canola, minyak jagung, minyak biji matahari dan lain lain. Namun Dalam pengolahannya tidak boleh dipanaskan namun ditambahkan ketika makanan telah matang dan siap disajikan.

Aktif Bergerak

Aktiflah bergerak setiap hari sesuai kemampuan dan kondisi tubuh. Untuk tahap awal, dapat dimulai dengan jalan atau jalan cepat selama 10 menit dan dinaikkan durasinya secara bertahap. Setelah mencapai durasi 30 menit dapat diganti dengan aktivitas lain seperti bersepeda, renang, senam aerobik. 

1. Aktivitas Fisik

Menjadi aktif sangat penting dalam mencegah dan mengatasi obesitas, selain itu juga penting untuk mencegah penyakit jantung pembuluh darah, stroke, diabetes dan penyakit tidak menular lain. Prinsip utama aktivitas fisik pada obesitas adalah untuk meningkatkan pengeluaran energi dan membakar lemak. Aktivitas fisik dan latihan fisik menjadi bagian terintegrasi sebagai terapi untuk menurunkan berat badan dan menjaga berat badan tetap ideal.

Aktivitas fisik merupakan setiap gerakan tubuh yang diakibatkan kerja otot rangka dan meningkatkan pengeluaran tenaga serta energi. Aktvitas ini mencakup aktivitas yang dilakukan di sekolah, di tempat kerja, aktivitas dalam keluarga/rumah tangga, aktivitas selama dalam perjalanan dan aktivitas fisik lain yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang sehari hari.

Secara umum aktivitas fisik dibagi menjadi 3 (tiga) kategori berdasarkan intensitas dan besaran kalori yang digunakan yaitu aktivitas fisik ringan, aktivitas fisik sedang, dan aktivitas fisik berat.

1) Aktivitas fisik ringan
Aktivitas fisik ini hanya memerlukan sedikit tenaga dan biasanya tidak menyebabkan perubahan dalam pernapasan, saat melakukan aktivitas masih dapat berbicara dan menyanyi. Energi yang dikeluarkan selama melakukan aktivitas ini (<3,5 Kcal/menit). Conteh aktivitas fisik yang masuk dalam kategori ringan adalah: 
a) Berjalan santai di rumah, kantor, atau pusat perbelanjaan
b) Duduk bekerja di depan komputer, membaca, menulis, menyetir, mengoperasikan mesin dengan posisi duduk atau berdiri
c) Berdiri melakukan pekerjaan rumah tangga ringan seperti mencuci piring, setrika, memasak, menyapu, mengepel lantai, menjahit
d) Latihan peregangan dan pemanasan dengan lambat.
e) Membuat prakarya, bermain kartu, bermain video game, menggambar, melukis, bermain musik
f) Bermain billyard, memancing, memanah, menembak, golf, naik kuda

2) Aktivitas fisik sedang
Pada saat melakukan aktivitas fisik sedang tubuh sedikit berkeringat, denyut jantung dan frekuensi nafas menjadi lebih cepat, tetap dapat berbicara, tetapi tidak bernyanyi. Energi yang dikeluarkan saat melakukan aktivitas ini antara 3,5 - 7 Kcal/menit.
Conteh aktivitas yang masuk dalam kategori sedang adalah:
a) Berjalan cepat (kecepatan 5 km/jam) pada permukaan rata di dalam atau diluar rumah, di kelas, ke tempat kerja atau ke toko; dan jalan santai, jalan dengan anjing, atau jalan waktu istirahat kerja.

b) Pekerjaan tukang kayu, membawa dan menyusun balok kayu, membersihkan rumput dengan mesin pemotong rumput.
c) Pekerjaan rumah seperti mengepel lantai, membersihkan rumah, memindahkan perabot ringan, berkebun, menanam pohon, mencuci mobil

d) Bulutangkis rekreasional, bermain tangkap bola, dansa, tenis meja, bowling, bersepeda pada lintasan datar, volley non kompetitif, bermain skate board, ski air, berlayar

3) Aktivitas fisik berat (> 7 Kcal/menit).
Aktivitas fisik dikategorikan berat apabila selama beraktivi­tas tubuh mengeluarkan banyak berkeringat, denyut jantung dan frekuensi nafas sangat meningkat sampai dengan kehabisan napas. Energi yang dikeluarkan saat melakukan aktivitas pada kategori ini > 7 Kcal/menit. Contoh aktivitas yang masuk dalam kategori berat adalah:
a) Berjalan sangat cepat (kecepatan lebih dari 5 km/jam), berjalan mendaki bukit, berjalan dengan membawa beban di punggung, naik gunung, jogging (kecepatan 8 km/jam) dan berlari
b) Pekerjaan seperti mengangkut beban berat, menyekop pasir, memindahkan batu bata, menggali selokan, mencangkul
c) Pekerjaan rumah seperti memindahkan perabot yang berat, menggendong anak, bermain aktif dengan anak

d) Bersepeda lebih dari 15 Km per jam dengan lintasan mendaki, bermain basket, cross country, badminton kompetitif, volley kompetitif, sepak bola, tenis single, tinju.

Rekomendasi aktivitas fisik yang disarankan untuk mendapatkan manfaat kesehatan adalah 150 menit perminggu untuk aktivitas fisik sedang atau 75 menit perminggu untuk aktivitas fisik berat (atau kombinasi keduanya). 


2. Latihan Fisik

Latihan Fisik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, dan berkesinambungan dengan melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani. Latihan fisik dilakukan dengan Baik Benar Terukur dan Teratur (BBTT) sesuai kaidah kesehatan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
a. Latihan fisik yang Baik adalah latihan fisik yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan kemampuan supaya tidak menimbulkan dampak yang merugikan, dilakukan di lingkungan yang sehat, aman, nyaman, tidak rawan cedera, menggunakan pakaian dan sepatu yang nyaman.
b. Latihan fisik yang Benar adalah latihan fisik yang dilakukan secara bertahap dan dimulai dari latihan pemanasan (termasuk peregangan), latihan inti, latihan pendinginan (termasuk peregangan).
c. Latihan fisik yang Terukur adalah latihan fisik yang dilakukan dengan mengukur intensitas dan waktu latihan.

d. Latihan fisik yang Teratur adalah latihan fisik yang dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam seminggu dengan selang waktu istirahat.

Anjuran latihan fisik untuk mencegah dan mengatasi Obesitas dengan prinsip BBTT diterjemahkan dalam 4 aspek yang disingkat menjadi FITT, yaitu: 
i. Frekuensi :
Latihan dilakukan 3-5 kali per minggu dan bila kondisi kesehatan dan kemampuan telah memungkinkan dapat ditingkatkan menjadi 5-7 kali perminggu (ACSM 2011)
ii. lntensitas :
Latihan dilakukan dalam intensitas sedang, yang diukur dengan cara:
- Mengitung denyut nadi saat latihan: 50-70% Denyut Nadi Maksimal
(DNM = 220 - umur)
Contoh perhitungan :
Dewasa usia 20 tahun, berarti:
Denyut nadi maksimal: 220-20= 200 denyutan permenit. Denyut nadi saat latihan 50-70% x 200= 100-140 denyutan permenit.
Perhitungan denyut nadi dimulai sejak awal latihan, selama latihan dan selesai latihan serta 5 dan 10 menit setelah selesai latihan .
iiii Talk test I tes bicara intensitas sedang : masih dapat berbicara saat latihan namun tidak dapat bernyanyi, denyut jantung dan frekuensi nafas meningkat, tubuh mengeluarkan cukup keringat.
iv. Tipe / jenis latihan : Jenis latihan yang dilakukan terutama adalah latihan aerobik seperti jalan cepat, bersepeda, berenang, jalan di kolam renang. Senam aerobik benturan rendah (low impact). Jenis latihan ini dipilih untuk mencegah timbulnya cedera.
v. Time I waktu latihan : Latihan disesuaikan dengan kemampuan setiap individu, dan dinaikkan secara bertahap hingga mencapai waktu latihan 150 menit per minggu. Ditingkatkan secara bertahap sampai dengan 300 menit per minggu dan diusahakan 30-60 menit per kali latihan. Bagi yang memiliki waktu yang sangat terbatas maka waktu latihan dapat dilakukan masing masing 10 menit sehingga terakumulasi waktu 30-60 menit perhari.
Waspada jika pada saat latihan terjadi hal hal sebagai berikut:
a. Terdapat keluhan yang tidak biasa seperti sakit kepala, nyeri dada, sesak nafas sebaiknya segera menghentikan latihan tersebut
b. Jika denyut nadi pada 5 menit dan 10 menit setelah selesai berlatih tidak kembali ke denyut nadi awal sebaiknya memeriksakan diri ke tenaga medis sebelum melakukan latihan selanjutnya (Kemenkes RI, 2017).


Obat-obatan

Farmakoterapi dan terapi bedah dapat diterapkan dengan persyaratan pada anak dan remaja obesitas yang mengalami penyakit penyerta dan tidak memberikan respons pada terapi konvensional. Pemberian farmakoterapi juga diindikasikan untuk orang dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 30 kg atau ≥ 27 kg disertai satu komorbiditas dan tidak memberikan respons pada terapi konvesional yang terdiri dari (diet, olahraga, dan perubahan perilaku). Secara umum farmakoterapi untuk obesitas terdiri dari :
a. penekan nafsu makan (sibutramin)
b. penghambat absorbsi zat-zat gizi (orlistat)
c. rekombinan leptin untuk obesitas karena defisiensi leptin bawaan
d. kelompok obat untuk mengatasi komorbiditas (metformin).
Belum tuntasnya penelitian tentang efek jangka panjang penggunaan farmakoterapi obesitas pada anak menyebabkan belum ada satupun farmakoterapi tersebut di atas yang diijinkan pemakaiannya pada anak di bawah 12 tahun oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) sampai saat ini. Sejak tahun 2003, Orlistat 120 mg dengan ekstra suplementasi vitamin yang larut dalam lemak disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration untuk tata laksana obesitas pada remaja di atas usia 12 tahun. Studi klinis menunjukkan bahwa orlistat dapat membantu menurunkan berat badan dari 1,31 sampai  3,37 kg lebih banyak dibandingkan plasebo.

Sibutramin berfungsi menimbulkan rasa kenyang dan meningkatkan pengeluaran energi dengan menghambat ambilan ulang (reuptake) noraderenalin dan serotonin. Penggunaan obat tersebut pernah diijinkan oleh U.S. Food and Drug Administration pada remaja yang berusia ≥ 16 tahun.10,79 Sebagian besar studi, review, dan penelitian yang menggunakan sibutramin pada remaja dan anak menunjukkan manfaat jangka pendek yang terbatas.

Studi SCOUT (Sibutramine Cardiovasular Outcomes) menunjukkan peningkatan kejadian efek pada kardiovaskular sebesar 16% pada pasien yang diterapi sibutramin dibandingkan pasien yang mendapat plasebo. Pemberian sibutramin juga tidak menghasilkan penurunan berat badan yang bermakna dibandingkan plasebo. Berdasarkan penelitian ini, pada tahun 2010 FDA merekomendasikan penghentian pemberian sibutramin dan menginstruksikan produsen agar menarik sibutramin dari pasar.

Orlistat digunakan sebagai tambahan untuk intervensi gaya hidup dalam manajemen obesitas. Pasien dengan BMI ≥25 kg / m2 (dengan komorbiditas) atau BMI ≥30 kg / m2 harus dipertimbangkan berdasarkan kasus individu setelah penilaian risiko dan manfaat.Terapi dengan orlistat harus dilanjutkan setelah 12 minggu jika pasien telah kehilangan setidaknya 5% dari berat badan awal mereka sejak awal terapi obat. Terapi kemudian harus dilanjutkan selama terdapat manfaat klinis seperti  pencegahan kenaikan berat badan yang signifikan. 


Metformin merupakan obat yang digunakan pada diabetes melitus tipe-2 tetapi sering disalahgunakan sebagai farmakoterapi untuk obesitas. Sistematic review mengenai penggunaan metformin untuk obesitas pada anak dan remaja memperoleh hasil penggunaan metformin jangka pendek memberikan efek penurunan IMT dan resistensi insulin pada anak dan remaja obesitas dengan hyperinsulinemia, tetapi belum cukup bukti untuk menyatakan bahwa obat tersebut dapat berperan dalam tata laksana overweight atau obesitas tanpa hiperinsulinemia.


Terapi Bedah Bariatrik

Prinsip terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) :

  1. Mengurangi asupan makanan (restriksi) atau memperlambat pengosongan lambung dengan cara gastric banding dan vertical-banded gastroplasty. 
  2. Mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus. Sampai saat ini belum cukup banyak diteliti manfaat serta bahaya pembedahan jika diterapkan pada anak.

Bedah bariatric dipertimbangkan untuk dilakukan pada :

  1. Remaja yang mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah menjalani program yang terencana ≥ 6 bulan serta memenuhi persyaratan antropometri, medis, dan psikologis
  2. Superobes (sesuai dengan definisi World Health Organization jika IMT ≥40
  3. Secara umum sudah mencapai maturitas tulang (umumnya perempuan ≥13 tahun dan laki-laki ≥15 tahun)
  4. Menderita komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan penurunan berat badan. Remaja yang terindikasi tindakan bedah bariatrik harus dirujuk ke Pusat Rujukan Obesitas yang bersifat multidisipliner serta mempunyai pengalaman dalam penanganan jangka panjang. Terapi bedah bariatrik tetap berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius walaupun menghasilkan penurunan berat badan yang bermakna pada pasien pediatrik. Komplikasi laparoscopic adjustable gastric banding (LAGB) yang paling sering dilaporkan adalah band slippage dan defisiensi mikronutrien, dengan beberapa kasus sporadik erosi band, disfungsi lubang atau pipa, hiatal hernia, infeksi luka dan dilatasi kantung. Komplikasi yang lebih berat dilaporkan setelah Roux-en-Y gastric bypass (RYGB), seperti embolisme paru, syok, obstruksi usus, perdarahan pasca bedah, kebocoran di tempat jahitan, dan gizi buruk.


Referensi:

Briggs, D. I. et al. (2010) ‘Diet-induced obesity causes ghrelin resistance in arcuate           NPY/AgRP neurons’, Endocrinology, 151(10), pp. 4745–4755. doi: 10.1210/en.2010      0556.
Gadde, K. M. et al. (2018) “Obesity,” Journal of the American College of Cardiology, 71(1), hal. 69–84. doi: 10.1016/j.jacc.2017.11.011.
Gandhi, M. and Swaminathan, S. (2017) ‘Ghrelin and Obesity-An Update’, 9(1), pp. 51–54.
Guyton,  arthur c (2016) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th edn. Jakarta: EGC.
Hamdy, O. (2020) Obesity. Tersedia pada: https://emedicine.medscape.com/article/123702-overview (Diakses: 2 Mei 2020).
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2014. Diagnosis, Tata Laksana dan Pencegahan Obesitas pada Anak dan Remaja. Diakses melalui http://idai.or.id/wp-content/uploads/2015/05/buku-obes-0215.pdf
Kemenkes RI (2017) Panduan Pelaksanaan Gerakan Nusantara Tanpa Obesitas (GENTAS). Jakarta.
Leite-Moreira AF dan Soares JB, 2007. Physiological, pathological and potential therapeutic        roles of ghrelin. Drug Discovery Today. 12:276-288.
Lely AJ, Tschop M, Heiman ML, dan Ghigo E, 2004. Biological, physiological,    pathophysiological, and   pharmacological aspects of ghrelin. Endocr Rev.      25:426-57.
Redinger, R. N. (2007) “The pathophysiology of obesity and its clinical manifestations,” Gastroenterology and Hepatology, 3(11), hal. 856–863.
Saad MF, Bernaba B, Hwu CM, Jinagouda S, Fahmi S, Kogosov E, dan Boyadjian R, 2002.         Insulin regulates plasma ghrelin concentration. J Clin Endo crinol Metab. 87:3997   4000.
Sherwood, L. (2013) Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 8th edn. Jakarta: EGC.
Teguh Budipitojo, Hevi Wihadmadyatami,  and G. R. A. (2016) ‘Identifikasi sifat dan      distribusi sel endokrin ghrelin di lambung tikus (Rattus norvegicus): studi  immunohistokimia pada kondisi obesitas’, Journal of Tropical Biodiversity and    Biotechnology, 1(2), pp. 9–13. Available at: www.jtbb.or.id.

World Health Organization (2000) Obesity : Preventing and Managing The Global Epidemic. Geneva.

Kontributor:
Naufal dan Anita

Posting Komentar

0 Komentar