Peran Hormon Kortisol dalam Stress


Pendahuluan

Sistem endokrin merupakan salah satu komponen penting dalam menjaga homeostasis tubuh. Sistem endokrin bekerja dan mempengaruhi fungsi tubuh dengan cara mengatur kelenjar-kelenjar endokrin untuk menyekresikan hormon. Tak terkecuali ketika stres, terdapat hormon-hormon yang dilepaskan untuk menjaga homeostasis tubuh agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya (Silverthorn, 2014; Zhao et al., 2018).


Stres terbagi menjadi baik dan buruk. Saat stres tersebut menyenangkan, menarik, dan memotivasi, maka inilah yang disebut stres baik. Stres baik dapat membantu kita dalam memulihkan energi, meningkatkan fungsi jantung, meningkatkan kekuatan, mempertajam pikiran, dan meningkatkan kemampuan mental. Namun, jika stres memiliki dampak buruk bagi tubuh dan justru menimbulkan kecemasan dan perasaan tidak mengenakkan, inilah yang disebut stres buruk (Sharma, 2018; Bao dan Swaab, 2019)

Faktor yang menyebabkan stres disebut stresor. Stresor dapat berupa perubahan kondisi fisik atau psikologi pada tubuh, perubahan lingkungan, peristiwa dalam kehidupan, dan perilaku. Stres dapat terbagi menjadi beberapa jenis yaitu stres akut, stres episodik, dan stres kronis. Stres akut adalah stres yang terjadi dalam waktu yang singkat dan cepat berlalu. Gejala stres akut umumnya seperti kemarahan, kecemasan, mudah tersinggung, dan depresi. Ketika stres aku dirasakan terlalu sering, maka hal itu disebut stres episodik. Jika paparan stres berlangsung lama, maka hal itu disebut stres kronis. Efek dari stres kronis ini yaitu akumulasi stresor dalam jangka waktu yang lama. Stres kronis ini sangat berbahaya bagi tubuh baik secara fisik maupun psikologis (Sharma, 2018).

Mekanisme stres sangat erat kaitannya dengan hormon, khususnya hormon kortisol. Kortisol disekresikan melalui umpan balik sistem aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) (Rector et al., 2019). Aktivasi aksis HPA menyebabkan sekresi glukokortikoid yang bekerja pada beberapa sistem organ untuk menyediakan sumber energi khususnya saat terjadi stres. 

Artikel ini akan membahas hubungan stres dengan sekresi kortisol oleh medula adrenal pada tubuh manusia. Sistematika pembahasan artikel ini dimulai dengan memaparkan uraian singkat mengenai stres dan kortisol dari yang sederhana menjadi semakin kompleks.

Stress

Stres adalah respon dimana saat tubuh sedang mengalami perubahan atau situasi yang tidak diinginkan, baik perubahan pada fisik maupun pada mental. Berdasarkan sifat dan dampaknya terhadap tubuh, stres dibagi menjadi dua. Jenis pertama adalah stres baik dan buruk. Stres baik yaitu stres yang membantu memulihkan kondisi tubuh dengan meningkatkan stamina dan meningkatkan kemampuan mental. Kemudian stres buruk yaitu stres yang menyebabkan kecemasan. Jenis yang kedua ialah stres akut, stres episodik, dan stres kronis. Stres akut terjadi saat kondisi seseorang menjadi cepat marah, sering mengalami kecemasan dan mengalami depresi, jika stres akut terus menerus terjadi maka akan menyebabkan stres episodik, apabila stres episodik terus menerus terjadi akan menyebabkan stres kronis (Sharma, 2018)

Setiap kali tubuh terkena stresor, tubuh dapat secara otomatis menanggapi stres. Terdapat tiga fase tubuh dalam menangani stres: 1) alarm, 2) adaptasi, 3) pemulihan terhadap stres. Fase pertama, alarm, melibatkan saraf otonom simpatis (figh or flight) serta dilepaskannya hormon epinefrin dan norepinefrin yang membuat denyut jantung, tekanan darah, dan gula darah mengalami peningkatan. Jika situasi stres belum mampu diselesaikan tubuh, maka hormon stres akan disekresi terus menerus guna menyediakan energi bagi tubuh. Inilah yang disebut fase adaptasi. Akibat dari fase adaptasi ini tubuh akan mengalami masalah kesulitan tidur, kelelahan, gangguan pencernaan, kurang konsentrasi, dan mudah tersinggung. Jika mekanisme kompensasi tubuh ini telah berhasil mengatasi stres, maka akan menuju fase pemulihan (Sharma, 2018). Namun, jika tubuh tidak mampu mempertahankan fungsi normal tubuh (homeostasis) akibat stres, maka beresiko dapat menyebabkan depresi, hipertensi, diabetes, dan masalah kesehatan lainnya (Joseph dan Golden, 2017).

Hormon Kortisol

Sintesis

Gambar: Sintesis Hormon Kortisol
Proses sintesis kortisol diawali dari perubahan kolesterol menjadi pregnenolon oleh enzim desmolase. Kemudian pregnenolon akan di ubah oleh 17α-hidroksilase yang terdapat dalam retikulum endoplasma (RE) halus menjadi 17α-hidroksipregnolon. Setelah itu 17α-hidroksipregnolon akan diubah menjadi 17α-hydroxyprogesteron setelah sebelumnya terdapat perubahan dari 5,6 menjadi 4,5 ikatan rangkap oleh 3β–hydroxysteroids dehydrogenase. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengubah pregnenolon menjadi progesterone ke 17α-hidroksipregnolon. Karena adanya peran dari 21β-hidroksilase oleh CYP21A2, 17α-hidroksipregnolon diubah menjadi 11-deoksikortisol. Senyawa ini selanjutnya menuju mitokondria, dan dihidroksilasasi oleh 11α-hidroksilase (CYP11B1) untuk membentuk kortisol (Guyton dan Hall, 2016; Sembulingam dan Sembulingam, 2016).

Sebelum memasuki sirkulasi, kortisol terlebih dahulu berikatan dengan plasma protein. Sekitar 80 % kortisol akan berikatan dengan corticosteroid-binding globulin (CBG) atau transcortin, 15 % dari kortisol akan berikatan dengan albumin serta sisanya akan bersikulasi secara bebas. CBG diproduksi di hepar dan memiliki afinitas yang kuat dengan kortisol. Dalam pengeluarannya, CBG diatur oleh kortikosteroid melalui umpan balik negatif, dan kadar CBG akan menurun saat terjadi stress kronis. Sedangkan albumin mempunyai kapasitas yang luas untuk kortisol namun sayangngya afinitas albumin terhadap kortisol rendah (Silverthorn, 2014; Herman et al., 2016).

Degradasi Kortisol

Sebelum dieksresikan di urin harus diubah terlebih dahulu bentuknya. Kortisol akan diubah menjadi kortison (bentuk kortisol yang inaktif) oleh 11β-hidroksisteroid dehidrogenase. Kortisol dan kortison akan masuk kembali ke sirkulasi untuk dieksresikan melalui urin. Selain itu juga kortisol dapat terkonjugasi dengan asam glukuronat (Sembulingam dan Sembulingam, 2016).

Asal dan Target Hormon Kortisol

Kortisol disintesis dari kolesterol oleh korteks adrenal. Pelepasan hormon stres diawali dengan sekresi corticotrophin releasing factor (CRF) atau corticotrophin releasing hormone (CRH) di hipothalamus. CRF dilepaskan dari hipotalamus di otak ke aliran darah sistem portal hipofisial, sehingga mencapai kelenjar pituitari yang berlokasi di bawah hipotalamus (Lee, Kim dan Choi, 2015). Di tempat ini, CRF merangsang pelepasan adenocorticotrophin hormone (ACTH) oleh pituitari, lalu ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan berbagai hormon. Salah satunya adalah kortisol. Kortisol beredar di dalam tubuh dan berperan dalam mekanisme coping (coping mechanism). Bila stresor yang diterima hipotalamus kuat, maka CRF yang disekresi akan meningkat, sehingga rangsang yang diterima oleh pituitari juga meningkat, dan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal juga meningkat. Apabila kondisi emosional telah stabil, coping mechanism menjadi positif, maka sinyal di otak akan menghambat pelepasan CRF dan siklus hormon-stres berulang lagi (Admon et al., 2017). Kortisol bersifat glukokortikoid yang bekerja menguraikan simpanan energi pada tubuh  untuk digunakan sebagai tenaga dan respon simpatis fligh or flight (Guyton dan Hall, 2016)

Mekanisme Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal (HPA) Saat Stres

Gambar: HPA Axis

Aksis HPA dimodulasi melalui mekanisme umpan balik negatif untuk mempertahankan kadar hormon normal. Setelah terkena stresor, neuron dalam nukleus paraventrikular (PVN) hipotalamus melepaskan dua neurohormon yaitu CRF/CRH dan arginin vasopresin (AVP) ke dalam kelenjar pituitari melalui portal hipofisial. CRF terikat pada reseptor G-protein (corticotropin releasing R1 reseptor hormon (CRFR1)) dan mengaktifkan adenilat siklase yang mengarah ke pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH). Sedangkan AVP dilepaskan bersama dari terminal saraf CRF di median eminence dan bekerja bersama dengan CRF untuk meningkatkan respon selama stres. Vasopresin bekerja melalui reseptor AVP1B untuk mengaktifkan protein kinase C yang melengkapi aksi CRF pada pelepasan ACTH tetapi tidak cukup untuk menginduksi ACTH (Bao dan Swaab, 2019)

Sekresi ACTH dikendalikan oleh umpan balik negatif kortisol pada kelenjar hipofisis anterior, PVN, dan hippocampus. Ada dua jenis reseptor untuk kortisol yaitu mineralokortikoid (tipe-I) dan reseptor glukokortikoid (tipe-II). Keduanya berpartisipasi dalam mekanisme umpan balik negatif. Kortisol memiliki afinitas pengikatan yang lebih tinggi untuk reseptor mineralokortikoid (MR) daripada reseptor glukokortikoid (GR). Karena perbedaan dalam ikatan afinitas ini, MR membantu mempertahankan kadar kortisol yang relatif rendah yang bersirkulasi dalam darah selama irama sirkadian. Ketika konsentrasi kortisol tinggi, misalnya saat stres, kortisol berikatan dengan reseptor GR untuk mengakhiri respon stres. Mekanisme kontrol umpan balik negatif ini berguna untuk menjaga sekresi ACTH dan kortisol saat stres (Herman et al., 2016).

Pengikatan CRF juga meningkatkan transkripsi gen proopiomelanocortin (POMC) yang mengkode ACTH. Aktivasi transkripsi POMC dan pelepasan ACTH selanjutnya bergantung pada jenis stresor yang menyebabkan respon stres awal. Kontrol yang terbatas dari transkripsi POMC dapat dialihkan ke regulasi dan spesifisitas dalam faktor transkripsi. CRF mempromosikan transkripsi POMC melalui mekanisme dependen cAMP / protein kinase A. Setelah disintesis, POMC dibelah oleh prohormon konvertase 1 menjadi ACTH dan β-lipotropin. ACTH kemudian dikemas ke dalam vesikel dan dilepaskan melalui jalur eksositosis yang diatur ke dalam sirkulasi sistemik (Herman et al., 2016).

Setelah dilepaskan dalam sirkulasi sistemik, ACTH kemudian menginduksi sintesis glukokortikoid dari kelenjar adrenal. Pada korteks adrenal, ACTH bekerja pada reseptor melanocortin 2 (MC2R) di zona fasciculata. Pengikatan ACTH ke MC2R menghasilkan peningkatan adenilat siklase dalam tingkat cAMP intraseluler yang menyebabkan peningkatan cepat biosintesis kolesterol. Kolesterol adalah prekursor untuk sebagian besar steroid termasuk mineralokortikoid dan glukokortikoid (Sherwood, 2016). Kolesterol diangkut ke membran mitokondria luar tempat protein steroidogenic acute regulatory (StAR) memfasilitasi pergerakan kolesterol ke dalam membran mitokondria bagian dalam pada lokasi dimana dua membran berada. Karena StAR diproduksi secara de novo, setelah stimulasi hormon trofik sel transportasi kolesterol yang dimediasi StAR ini menjadi langkah pembatas laju produksi glukokortikoid. Setelah disintesis, glukokortikoid dilepaskan ke dalam sirkulasi dan melakukan perjalanan ke berbagai daerah perifer dan juga kembali ke sistem saraf pusat sebagai respon kompensasi dari stres (Herman et al., 2016).

Referensi

Admon, R. et al. (2017) “Distinct Trajectories of Cortisol Response to Prolonged Acute Stress Are Linked to Affective Responses and Hippocampal Gray Matter Volume in Healthy Females,” The Journal of Neuroscience, 37(33), hal. 7994–8002. doi: 10.1523/jneurosci.1175-17.2017.
Bao, A. M. dan Swaab, D. F. (2019) “The human hypothalamus in mood disorders: The HPA axis in the center,” IBRO Reports. Elsevier, 6(November 2017), hal. 45–53. doi: 10.1016/j.ibror.2018.11.008.
Guyton, A. C. dan Hall, J. E. (2016) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12 ed. Singapore: Elsevier Pte Ltd.
Herman, J. P. et al. (2016) “Regulation of the hypothalamic-pituitary- adrenocortical stress response,” Comprehensive Physiology, 6(2), hal. 603–621. doi: 10.1002/cphy.c150015.
Joseph, J. J. dan Golden, S. H. (2017) “Cortisol dysregulation: the bidirectional link between stress, depression, and type 2 diabetes mellitus,” Annals of the New York Academy of Sciences, 1391(1), hal. 20–34. doi: 10.1111/nyas.13217.
Lee, D. Y., Kim, E. dan Choi, M. H. (2015) “Technical and clinical aspects of cortisol as a biochemical marker of chronic stress,” BMB Reports, 48(4), hal. 209–216. doi: 10.5483/BMBRep.2015.48.4.275.
Rector, J. L. et al. (2019) “Relative sensitivity of cortisol indices to psychosocial and physical health factors,” Plos One, 14(4), hal. e0213513. doi: 10.1371/journal.pone.0213513.
Sembulingam, K. dan Sembulingam, P. (2016) Essentials of Medical Physiology. 7 ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers.
Sharma, D. K. (2018) “Physiology of Stress and its Management,” Journal of Medicine: Study & Research, 1(1), hal. 1–5. doi: 10.24966/MSR-5657/100001.
Sherwood, L. (2016) Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 8 ed. Diedit oleh H. O. Ong, A. A. Mahode, dan D. Ramadhani. Diterjemahkan oleh B. U. Pendit. Jakarta: EGC.
Silverthorn, D. U. (2014) Human Physiology: An Integrated Approach. 6 ed. San Francisco: Pearson Education.
Zhao, J. et al. (2018) “The stress response HPA-axis hormone, glucocorticoid, reduces cellular SKA complex gene expression,” Psychiatry Research, 260(March 2017), hal. 428–431. doi: 10.1016/j.psychres.2017.12.024.


Kontributor:
Naufal dan Amanda 

Posting Komentar

0 Komentar